Cara berdamai korban pengeboman

Maaf yang korban berikan bukanlah kata yang mudah diucapkan, mengingat masa traumatik yang dialami.

Korban pengeboman sedang memberikan opininya, Minggu (115/9).Alinea.id/Akbar Ridwan

Josuwa Ramos yang kala itu berusia 20 tahun, tak pernah menyangka sebelumnya akan menjadi salah satu korban peristiwa bom di Kuningan, Jakarta, pada 9 September 2004. Pada saat itu, dia sedang bekerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar Australia.

Dua bulan lamanya Josuwa mengalami trauma berat seusai peristiwa tersebut. Akan tetapi, dengan jiwa besar dia menganggap kejadian tersebut sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk bangkit dan memaafkan pelaku.

"Pertama menerima dulu bahwa kejadian itu (pengeboman) adalah anugerah yang Allah berikan pada kita. Kedua memaafkan pelaku. Ketiga baru kita bisa menerima (dan) memaafkan mereka langsung (baik) mantan (teroris) maupun (yang) masih dalam penjara," kata Josuwa Ramos, Jakarta, Minggu (15/9).

Lima belas tahun berselang setelah peristiwa itu, Josuwa dengan tekad bulat bergabung dengan Aliansi Indonesia Damai (Aida) untuk mengampanyekan kedamaian di Indonesia.

Salah satu program yang ia ikuti, adalah berkunjung ke penjara untuk bertemu pelaku teroris yang masih menjalani masa hukuman di balik jeruji besi. Satu hal yang membuatnya haru adalah ketika ada salah seorang yang tidak terlibat bom Kuningan, tetapi melayangkan permintaan maaf kepadanya. Hal itu menyentuh hatinya hingga Josuwa merasa iba dan berkeyakinan pelaku teror masih memiliki rasa kemanusiaan.