Cerita korban mafia tanah Bekasi: Tanah disunat, sertifikat "disikat"

Oknum di tingkat desa bahkan mencatut pungutan di kisaran Rp2-4 juta untuk sertifikasi tanah dalam program PTSL.

Ilustrasi perampasan tanah. Alinea.id/Firgie Saputra

Mad Usman, 30 tahun, kaget saat akhirnya "menemukan" Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) tanah milik orang tuanya. Surat itu sudah dua tahun ia cari. Sejak 2019, ia berulang kali mengunjungi Badan Pertanahan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bekasi untuk menanyakan keberadaan SPPT itu. 

Pertengahan Maret lalu, Bapenda Kabupaten Bekasi mengumumkan SPPT tanah milik orang tua Usman telah terbit. Meski begitu, SPPT itu tak kunjung diterima Usman. Ia pun melapor ke Ketua RT setempat. SPPT tersebut ternyata ada di tangan sang Ketua RT.

Bukan hanya kemunculannya saja yang tiba-tiba yang bikin Usman terkesiap. Bagi Usman, data dalam SPPT tersebut juga ganjil. Dalam dokumen itu, Usman menemukan luas tanah milik orang tuanya berkurang hingga sekitar 191 meter persegi. 

“Awal mula luas tanah yang sebenarnya itu sekitar 550 meter persegi. (Ketua) RT kasih (SPPT itu) ke saya. Saya kaget kok luasnya berubah menjadi 359 meter persegi,” ujar Usman saat dihubungi Alinea.id, Senin (18/7).

Tanah orang tua Usman berada di Kampung Kedung Lotong, Desa Bantarjaya, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Mendapati kejanggalan dalam SPPT itu, ia melapor kepala dukuh. Saat itu, kepala dukuh berdalih ada kesalahan teknis dalam dokumen SPPT.