Epidemiolog soal terapi plasma konvalesen Kemenkes: Belum ada penelitiannya

Berdasarkan berbagai studi ilmiah di luar negeri, plasma konvalesen tak terbukti efektif.

Anggota tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia/Pandu Riono/Aline.id/Dwi Setiawan

Setelah diberikan terapi plasma konvalesen, virus corona justru bermutasi dalam tubuh seorang pasien Covid-19 pengidap kanker di Inggris. Bahkan, terdapat dua varian virus dalam tubuh pasien tersebut sebelum meninggal dunia. Studi kasus terhadap pasien ini diterbitkan dalam sebuah jurnal ilmiah, Nature pada Jumat (5/2).

Menanggapi hal itu, ahli epidemiologi dan biostatistik Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono menyebut, jika terapi plasma konvalesen tidak dapat memberikan antibodi yang optimal, maka virus corona akan bertahan dalam tubuh pasien. Bahkan, bisa bereplikasi (kemampuan virus memperbanyak diri) untuk bertahan hidup.

“Itu juga sama dengan bakteri yang resisten. Kalau orang mengobatinya harusnya tuntas sampai pasien tersebut meninggal dunia. Tetapi, karena orangnya tidak minum obat sampai tuntas. Seharusnya 5 hari, jadi hanya 3 hari, bakterinya (virus) enggak akan mati semua,” ucapnya saat dihubungi Alinea, Jumat (12/2).

“Yang masih hidup itu kemudian tetap tumbuh dan bereplikasi, dia tetap bertahan hidup. Dia harus melakukan perubahan,” imbuh Pandu.

Jadi, lanjut Pandu, mutasi virus corona dapat terjadi secara alamiah dan dipercepat oleh tekanan dari luar (plasma konvalesen). Dalam kasus pasien Covid-19 di Inggris tadi, obat antikanker dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga pengobatan melalui terapi plasma konvaselen tidak dapat dengan tuntas ‘membunuh’ virusnya. Jadi, virus yang tersisa tetap bertahan hidup dengan bereplikasi.