FSBPI: Buruh perempuan bukan objek eksploitasi

Buruh perempuan kerap menjadi objek kekerasan, diskriminasi, serta dieksploitasi pemilik modal dan elite penguasa.

Ilustrasi. Freepik

Pemerintah didesak memprioritaskan agenda perlindungan terhadap perempuan pekerja. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT), dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pembatalan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), yang sebelumnya bernama Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), juga menyerukan semua perempuan pekerja melawan berbagai kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap kaumnya. Pun membangun komite-komite di tingkat pabrik dan mencantumkan perlindungan haknya dalam perjanjian kerja bersama.

“Tahun milenial bukan pertanda bahwa kondisi buruh perempuan di era milenial ini sudah lepas dari tindakan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi," ucap Ketua FSBPI, Dian Septi, melalui keterangan tertulis dalam rangka Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, Rabu (25/11).

Dirinya mendorong demikian lantaran buruh perempuan kerap menjadi objek kekerasan, diskriminasi, serta dieksploitasi pemilik modal dan elite penguasa. Hak maternitasnya juga kian sukar didapat lantaran dianggap lumrah tidak dipenuhi perusahaan dan tak penting mengingat buruh perempuan kerap diidentikkan tanpa keahlian dan bukan pencari nafkah utama. “Ini sungguh memprihatinkan."

Dicontohkannya dengan cuti haid berbalas intimidasi, cuti keguguran dikebiri, dan cuti melahirkan dibalas dengan pemaksaan pengunduran diri. “Kondisi ini marak terjadi dalam industri yang menimpa buruh perempuan di negeri ini,” ungkapnya.