Kaburnya definisi radikalisme dan deradikalisasi setengah hati di 2020

Upaya deradikalisasi yang digalakkan pemerintah dinilai tak jelas dan tak akan tepat sasaran.

Aparat kepolisian berjaga saat penggeledahan rumah kontrakan terduga teroris di Cimahi, Jawa Barat (25/09/19). Foto Antara

Upaya deradikalisasi menjadi salah satu program yang mendapat sorotan pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Tugas yang sebelumnya menjadi fokus Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, kini digarap sejumlah kementerian dan lembaga lain.

Saat ini, sasaran deradikaliasasi memang melebar dari fokus yang selama ini dikerjakan BNPT, hingga ke masyarakat luas, termasuk aparatur sipil negara atau ASN. Hal ini tak terlepas dari terendusnya sejumlah ASN yang terpapar radikalisme.

"Keseriusan" pemerintahan Jokowi melakukan deradikalisasi pada ASN, tampak dengan pengangkatan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Tito yang mantan Kapolri, adalah juga mantan Kepala BNPT dan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan terorisme di Indonesia.

Selain itu, upaya tersebut juga tercermin dari penerbitan surat keputusan bersama atau SKB Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara yang ditandatangani 11 pimpinan kementerian dan lembaga pada November 2019 lalu.

Hal ini semakin menegaskan pergeseran definisi radikalisme dan deradikalisasi sebagaimana ditangani BNPT sebelumnya. Selama ini radikalisme merujuk pada teroris atau terorisme. Adapun upaya deradikalisasi yang dilakukan BNPT, merujuk pada UU Nomor 15 Tahun 2003 yang diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.