Kapolri: Rusuh Wamena karena 'keras' menjadi 'kera'

Aksi massa dan kerusuhan disulut kesalahpahaman antara seorang guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) PGRI Wamena dan para muridnya. 

Pengendara melintasi Kantor Bupati Jayawijaya yang terbakar saat aksi unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9). /Antara Foto

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan salah satu pemicu aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Wamena, Papua, Senin (24/9) lalu. Menurut Tito, aksi massa dan kerusuhan disulut kesalahpahaman antara seorang guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) PGRI Wamena dan para muridnya. 

"Bahwa ada seorang guru yang sedang mengajar menyampaikan kepada muridnya. Ini isunya, bahwa guru itu menyampaikan kalau berbicara (jangan terlalu) keras. Nah, terdengar oleh (para murid), menurut isu ini, yang terdengar adalah kera," ujar Tito dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (24/9). 

Menurut Tito, kabar sumir mengenai adanya ucapan rasialis itu menyebar dengan cepat. Banyak siswa dan masyarakat sakit hati. Isu tersebut, menurut Tito, juga disebarluaskan oleh komplotan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dipimpin oleh Benny Wenda. 

"Mereka menggunakan seragam SMA seolah-olah mereka adalah pelajar. Banyak pelajar pada akhirnya terprovokasi hingga akhirnya ikut berkumpul dan bergabung dalam aksi massa. Sebanyak 2.000 orang menyebar di Wamena dan bersikap anarkis. Ada yang merusak toko, melempar batu, bakar kantor bupati, bakar fasilitas umum, bakar motor dan mobil," tutur dia.

Akibat kerusuhan tersebut, menurut Tito, sebanyak 26 orang tewas dan 66 lainnya luka-luka. Kebanyakan warga yang tewas ialah warga pendatang. "Di antaranya berprofesi sebagai tukang ojek, pegawai ruko, dan restoran, sementara empat lainnya warga Papua asli," jelas dia.