Kegelisahan buruh rawan dipolitisasi

Suara buruh dalam May Day menegaskan tak adanya dukungan Joko Widodo untuk maju sebagai Presiden kembali.

suara buruh dalam May Day menegaskan tak adanya dukungan Joko Widodo untuk maju sebagai Presiden kembali./Ayu Mumpuni

1 Mei sudah berlalu. Tetapi banyak pesan tersirat yang bisa kita dapatkan dari pelaksanaan hari buruh yang dihadiri sekitar 100 ribu buruh itu. Mereka tergabung dalam berbagai serikat buruh, seperti Serikat Buruh Perbankan, Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek), Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI), dan masih banyak lagi serikat buruh lainnya.

Seperti tahun sebelumnya, organisasi buruh selalu mempersiapkan dengan matang berbagai kesiapan aksinya. Agar lebih menarik dan diketahui apa yang masih menjadi kegelisahan buruh. Hal itu terlihat berbagai ornamen seperti kostum, 

"Kami dari GSBI sudah mempersiapkan rencana aksi sejak sebulan lalu, mulai dari pendidikan, konsolidasi dan lainnya," jelas Sekjen GSBI, Emilia Yanti Siahaan, Senin (1/5) di Jakarta.

Kegelisahan kaum buruh tentunya beralasan. Kendati berdasarkan data BPS pendapatan per kapita Indonesia naik menjadi Rp 51,89 juta per tahun pada 2017 dari sebelumnya Rp 47,96 juta per tahun. Namun, itu tidak menggambarkan pendapatan sesunggunya yang diperoleh buruh. Ini karena BPS melangsir  ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391.

Laporan Oxfam yang dirilis pada Februari 2017 pun memperlihatkan tingkat ketimpangan Indonesia yang masih besar. Menurut laporan tersebut, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40% atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.