Kisah Marsinah dan buruh lain yang jadi martir

Adakah legasi Marsinah yang masih diwariskan pada buruh di era sekarang?

Ilustrasi hari buruh internasional (Mayday)./ Pixabay

Marsinah dan Wiji Thukul memang tak bernasib baik, layaknya aktivis buruh dari Rio de Janeiro Lula da Silva. Lula yang sempat menjadi tukang semir sepatu, lalu menjadi buruh di perusahaan otomotif—yang membuat jarinya putus dilibas mesin bubut—tak diculik atau dibunuh oleh rezim setempat. Kendati ia aktif mengorganisir serikat buruh sejak 1971, namun pada 2002 ia justru terpilih sebagai Presiden Brazil. Ia dinilai sebagai sosok egaliter yang bisa menyambung lidah kaum akar rumput. Hal demikian tak terjadi pada Marsinah maupun Wiji.

Bangkai Marsinah justru ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur pada 8 Mei 1993. Hari-hari jelang kematiannya, ia gunakan untuk turun ke jalan menyuarakan sejumlah tuntutan buruh dari PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, pabrik tempatnya bekerja. Di antara tuntutan itu adalah kelayakan upah minimum regional dari Rp1,7 juta jadi Rp2,25 juta, upah lembur, dan cuti hamil bagi buruh perempuan.

Tuntutan itu sendiri lahir pasca pengabaian PT CPS terhadap Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992 untuk menaikkan upah buruh. Marsinah bergerak bersama rekan-rekannya sesama buruh di pabrik itu pada 3 dan 4 Mei 1993 untuk menuntut kenaikan upah.

Yang terjadi berikutnya gampang ditebak, sebanyak 13 aktivis digiring ke kantor Kodim Sidoarjo. Mereka disebut-sebut telah melakukan penghasutan terhadap semua buruh yang mogok total. Marsinah ke Kodim untuk menjenguk rekan-rekannya, namun alih-alih kembali, ia diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Vaginanya dihujam selongsong peluru, memar di leher, dan bekas darah yang mengering ditemukan di sekujur badan. Begitulah simpulan ahli forensik Mun’im Idries dalam “Indonesia X-Files” (2013).

Meski telah terang benderang hasil visum dari ahli forensik, pelaku pemerkosa dan pembunuh Marsinah masih gelap. Tiga saksi yang berprofesi sebagai satpam telah diperiksa, terdakwa pernah divonis bersalah. Namun pada 29 April 1995 mereka semua dibebaskan dengan dalih tak ada konsistensi dalam BAP dan kesaksian di pengadilan, serta kesulitan pembuktian.