Kualitas udara Jakarta masih tidak sehat saat pandemi

Udara tergolong sehat (hijau) hanya terjadi 11 hari selama 2020.

Ilustrasi. Antara Foto/Galih Pradipta

Kualitas udara Jakarta mayoritas masih dalam kategori "sedang" hingga "tidak sehat" untuk kelompok sensitif. Padahal, mengalami penurunan asap kendaraan bermotor akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi Covid-19.

Ketika memasuki PSBB transisi, berdasarkan data Greenpeace Indonesia, konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta terus meningkat. Bahkan, berada di peringkat kelima untuk Ibu Kota di dunia dengan kualitas udara (PM2.5) terburuk merujuk laporan IQAir (air Visual) yang diluncurkan Februari 2020.

“Jika dilihat lebih lanjut secara keseluruhan data yang disajikan sepanjang tahun 2020, terlihat bahwa hanya terdapat 11 hari (7 Di Jakarta Pusat dan 3 Di Jakarta Selatan) dengan kategori udara sehat (hijau) yang terdeteksi di dua stasiun pemantauan kualitas udara,” ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, dalam keterangan tertulis, Senin (14/12).

Rata-rata harian konsentrasi PM2.5 pernah selama 13 hari melebihi ambang batas nasional pada bulan Juni-Agustus. Untuk rerata tahunan, diperoleh angka 35 ug/m3 di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan 43 ug/m3. Artinya, melebihi ambang batas dari segi standar WHO (10 ug/m3) ataupun standar Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional (15 ug/m3).

Sementara itu, Peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania, mengungkapkan, langit biru Jakarta terlihat hanya karena penerapan PSBB. Namun, indeks kualitas udara tetap terbilang buruk.