Milenial harus kritis, jangan terhasut kelompok radikal

Milenial harus bijak memilih pergaulan, hindari kelompok garis keras.

Tangkapan layar video jelang terjadinya ledakan bom di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulsel, Minggu (28/3)/YouTube

Generasi milenial harus lebih kritis menyikapi setiap isu. Sebab dengan bersikap kritis, milenial diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal. "Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," kata psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum kepada wartawan, Selasa (30/3/2021).

Sikap kritis, kata Nirmala, adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka. Dia mengungkapkan hal itu karena sikap kritis bukan sesuatu yang terberi.

Menurut dia, salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun. "Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya.

Nirmala berpendapat, sebenarnya tidak bisa digeneralisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Menurut Nirmala, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan. "Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tuturnya.

Sedangkan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat, kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Menurut wanita yang akrab disapa Mbak Nuning ini, sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara.