KPK: Negara dengan indeks korupsi tinggi sudah tinggalkan hukuman mati

Negara-negara tersebut lebih tertarik untuk membicarakan hal-hal sederhana, seperti penyuapan oleh sopir.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memberikan keterangan kepada wartawan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/10/19)./ Foto Antara

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang menegaskan hukuman mati bagi pelaku korupsi bukan solusi, karena tak menyentuh inti persoalan. Menurutnya, negara-negara dengan indeks persepsi korupsi atau IPK tinggi, sudah tak lagi membahas hukuman mati bagi koruptor.

"Kalau bicara hukuman maksimal, negara lain yang lebih substain indeks persepsi korupsinya, dia tidak bahas hukuman mati lagi," kata Saut dalam diskusi bertema "Koruptor Dihukum Mati, Retorika Jokowi?" di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Dia menjelaskan, negara-negara dengan IPK lebih tinggi dari Indonesia justru lebih tertarik untuk membicarakan hal-hal sederhana, seperti penyuapan oleh sopir. Menurutnya, negara-negara tersebut akan melakukan tindakan tegas terhadap tindakan penyuapan sopir di pelabuhan.

Meskipun terkesan sepele, dengan nilai kerugian yang mungkin tak seberapa, Saut menilai hal ini lebih menyentuh akar permasalahan. Hal ini lantaran penindakan korupsi hingga sekecil-kecilnya, dapat mengubah perspektif masyarakat terhadap penyuapan dan atau perilaku koruptif. 

Bagi Saut, wacana hukuman mati koruptor yang belakangan menghangat justru terjebak pada retorika. Padahal Indonesia sudah memiliki payung hukum pelaksanaan hukuman maksimal tersebut, yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.