Pemidanaan nonpemenjaraan diminta lebih diefektifkan

Kebijakan pemidanaan di Indonesia merupakan pangkal kondisi overcrowding tidak pernah diperhatikan.

Ilustrasi. Suasana penjara. Pixabay.com

Koalisi Pemantau Peradilan mendesak pemerintah dan DPR segera melakukan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) dan perbaikan sistem peradilan pidana. Di sisi lain, juga mengevaluasi reformasi hukum pidana dengan mengefektifkan pidana denda dan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan lainnya.

Koalisi meminta pemerintah mengubah kebijakan punitif menjadi kesehatan masyarakat dalam penanganan kasus narkotika. “Lagi-lagi kondisi buruk dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terungkap. Kali ini dibeberkan oleh Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat melalui cuitan dalam twitter miliknya,” ujar perwakilan Koalisi sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu dalam keterangan tertulis, Selasa (14/7).

Temuan kondisi buruk pada Rutan Salemba bukan sesuatu yang mengejutkan, tetapi tetap memprihatinkan. Pasalnya, kondisi tersebut seakan dibiarkan terus terjadi tanpa adanya solusi komprehensif. Kondisi overcrowding pada rutan dan lapas terlihat dari sebelum kebijakan asimilasi, per Maret 2020, jumlah narapidana di Indonesia mencapai 270.466 orang.

Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang. Itu artinya beban rutan dan lapas di Indonesia mencapai 204%. Namun, kebijakan pemidanaan di Indonesia merupakan pangkal kondisi overcrowding dan tidak pernah diperhatikan.

Sebelumnya, bekas tahanan politik (Tapol) Papua Surya Anta membagikan cerita kondisi Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Bekas Tapol yang divonis melakukan tindakan makar ini menemukan berbagai dugaan praktik penyimpangan yang tidak manusia bagi para tahanan.