Penambahan masa jabatan presiden menyimpang dari reformasi

Menambahkan periode jabatan presiden yang bertujuan merampungkan program-program yang telah dicanangkan merupakan argumentasi yang lemah.

Presiden Joko Widodo bersiap mengikuti upacara pelantikan presiden dan Wakil Presiden di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Antara Foto

Penambahan masa jabatan presiden yang rencananya dimunculkan pada amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai menyimpang dari semangat reformasi. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, penambahan masa jabatan presiden justru mendangkalkan demokrasi. Demikian disampaikan pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati.

Dalam semangat reformasi, Mada menuturkan, telah disepakati soal batasan masa jabatan presiden yang hanya lima tahun dan boleh menjabat selama dua periode. Kesepakatan tersebut diambil guna menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Menurut Mada, menambahkan periode jabatan presiden yang bertujuan merampungkan program-program yang telah dicanangkan merupakan argumentasi yang lemah. Berapa pun periode masa jabatan ditambah, kata dia, itu tetap dirasa tidak akan cukup.

Mada menilai, dua periode jabatan yang ada saat ini sudah terlalu panjang. Ia membandingkan dengan Amerika Serikat. Meski boleh menjabat selama dua periode, namun dalam satu periode itu hanya empat tahun. Karena itu, Mada menuturkan, pemerintah sebaiknya fokus dengan performa dan kinerja yang baik, ketimbang mewacanakan penambahan masa jabatan presiden. 

"Menurut saya, dua kali (periode) 5 tahun saja sudah terlalu panjang. Di Amerika saja cuma 4 tahun. Nanti, periode ketiga, bila tidak selesai, bisa saja ada wacana ditambah lagi," katanya.