Dari PSBB hingga PPKM darurat: Akrobatik pemerintah dalam tangani pandemi

Pemerintah kini hanya menerapkan PPKM, yang alas hukumnya sebatas instruksi menteri dalam negeri, dalam penanganan Covid-19.

Ilustrasi. Foto Antara/Moch. Asim

Pemerintah gemar berakrobat dengan istilah baru dalam kebijakan penanganan Covid-19. Ini tecermin dari muncul pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, yang pernah diterapkan di DKI Jakarta; pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro I-X; PPKM mikro yang diperketat; hingga PPKM darurat.

Jika merujuk regulasi menyangkut kedaruratan kesehatan masyarakat, ketentuang penanganan wabah sepatutnya merujuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Di dalamnya terdapat beberapa opsi, seperti isolasi, karantina rumah sakit, karantina pintu masuk macam bandara dan pelabuhan, PSBB, hingga karantina wilayah (lockdown).

Dari sekian pilihan tersebut, pemerintah baru menerbitkan regulasi turunan soal PSBB, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020.

Tak sekadar itu, pemerintah pusat pun justru lebih memilih opsi PSBB transisi, PPKM mikro, PPKM mikro yang diperketat, dan PPKM darurat. Nahasnya, kebijakan itu hanya diatur dalam peraturan gubernur (pergub) dan instruksi menteri dalam negeri (inmendagri), yang secara hierarki jauh di bawah UU.

Pakar semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf Amir Piliang, menyatakan, akrobat istilah yang dimainkan merupakan karakter dari rezim pencitraan. Karenanya, banyak kebijakan pemerintah saat ini bukan mengejar substansi pencapaian prestasi, tetapi pencitraan atas capaiannya.