Sengketa lahan PTPN-HRS sebaiknya diselesaikan secara hukum

Siapa yang memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah, ialah yang berhak atas lahan tersebut.

Kompleks Ponpes Alam Agrokultural Markaz Syariah milik FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jabar, Maret 2018. Google Maps/Sidiq Suci

Lahan seluas 30,91 hektare di Desa Kuta, Megamendung, Bogor, Jawa Barat (Jabar) yang dibangun pesantren menjadi objek sengketa antara Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Sengketa lahan tersebut disarankan diselesaikan secara hukum.

"Penyelesaian sengketa hak atas tanah sebaiknya diselesaikan ke pengadilan untuk memastikan siapa yang secara hukum memiliki hak atas tanah tersebut," ujar Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi kepada wartawan, Senin (28/12).

Menurut dia, jalur hukum harus ditempuh. "Jalur hukum mesti ditempuh karena klaim dua pihak ini mesti diuji atau dinilai kepastian hukumnya oleh pengadilan," ungkapnya.

Dia menjelaskan dalam hukum agraria, siapa yang memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah, ialah yang berhak atas tanah tersebut. "Silahkan bukti-bukti berupa surat tanah misal sertifikat HGU, hak milik, dokumen tertulis lainnya, termasuk saksi-saksi dihadirkan di persidangan pengadilan negeri," pungkasnya.

Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai, mekanisme hukum dapat ditempuh jika upaya mediasi tidak mencapai titik temu. Dia menyarankan, melakukan mediasi terlebih dahulu dengan profesional dan proporsional agar tidak menimbulkan kontroversi.