Soal KUHP, Wamenkumham tegaskan kritik tidak akan dipidana

Ancaman pidana dalam KUHP soal menghina lembaga negara, tepatnya dalam Pasal 349 merupakan delik aduan.

Beberapa pasal di dalam RUU KUHP menimbulkan polemik. Alinea.id/Oky Diaz.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, menekankan kritik yang disampaikan masyarakat tidak akan berujung pada pidana. Hal ini merupakan respon atas kritik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikhawatirkan dapat menghapus hak atas kebebasan berekspresi.

"Mengenai isu kebebasan berpendapat, bahwa KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik jelas tidak akan dapat dipidana, karena dilakukan untuk kepentingan umum," kata Edward dalam telekonferensi pers di Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Jakarta, pada Senin (12/12).

Edward menuturkan, berbeda dengan kritik, penghinaan jelas termasuk dalam perbuatan tercela, baik itu ditujukan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Kendati demikian, ujar dia, ancaman pidana dalam KUHP soal menghina lembaga negara, tepatnya dalam Pasal 349 merupakan delik aduan.

Dalam ketentuan tersebut, yang dimaksud pemerintah adalah merujuk kepada lembaga kepresidenan, yakni presiden dan wakil presiden. Sementara, untuk lembaga negara adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD) dan lembaga yudikatif (MA, MK).

"KUHP mengaturnya sebagai delik aduan. Sehingga, masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan. Jadi, yang bisa melapor, yang bisa mengadu hanya presiden atau wakil presiden, ataupun kepala lembaga negara," ucap dia.