Sopir taksi online minta kepastian hukum ke MK

Para sopir angkutan online menggugat ketentuan Pasal 151 UU LLAJ yag menyebut taksi sebagai transportasi tidak dalam trayek.

Unjuk rasa pengemudi transportasi online. (foto: Antara)

Keberadaan angkutan berbasis online, masih menjadi pro-kontra. Bahkan, European Court of Justice (ECJ) atau Pengadilan Tinggi Eropa, menetapkan bahwa Uber, angkutan online adalah perusahaan transportasi dan bukan perusahaan digital setelah adanya tuntutan dari sopir taksi. Selanjutnya, perusahaan angkutan online harus mengikuti regulasi layaknya taksi pada umumnya.

Di Indonesia, tiga orang pengemudi taksi online, Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo, dan Mahestu Hari Nugroho, menggugat Pasal 151 huruf a UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam ketentuan itu, disebutkan bahwa transportasi yang tidak dalam trayek adalah taksi. Karena itu, mereka meminta adanya kepastian hukum bagi angkutan berbasis online.

Namun, dalam sidang yang digelar hari ini, Rabu (24/1) di MK, staf ahli Menteri Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi (RB) Umar Aris menilai pengaturan mengenai taksi aplikasi berbasis teknologi dalam jaringan telah diatur dalam Undang-Undang LLAJ.

"Taksi dalam jaringan yang pemesanannya menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi, telah diakomodasi dalam Undang-Undang LLAJ PP Nomor 74 Tahun 2014 dan Permenhub Nomor PM 108 Tahun 2017," terang Umar seperti dikutip dari Antara.

Umar memaparkan, ketentuan Pasal 151 huruf a UU LLAJ sudah mengakomodasi angkutan sewa khusus yang merupakan angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan bermotor warna dasar hitam.

"Adanya ketentuan tersebut merupakan bentuk kehadiran negara dalam memberi kepastian hukum dan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memberi perlindungan usaha kepada seluruh pelaku usaha," sambungnya.