Kisah para agen deradikalisasi: "Dituduh murtad, dihalalkan darahnya..."

Beragam cara dilakukan eks napi teroris untuk mengeluarkan rekan-rekan mereka dari jerat radikalisme dan jalan teror.

Terpidana kasus terorisme Umar Patek (kiri) memberi hormat ketika menjadi pengibar bendera merah putih pada upacara memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 20 Mei 2015. /Foto Antara

Bagi mantan teroris Kurnia Widodo, kerja menjadi agen deradikalisasi ialah sebentuk "panggilan jiwa". Empat tahun dibui bikin Kurnia bertobat. Kurnia sadar model jihad dengan bom dan senjata yang sebelumnya ia jalankan sepenuh hati keliru. Kurnia tak ingin ada lagi orang yang bernasib sepertinya. 

“Yang mudah sekali menghalalkan darah manusia dan juga korban-korban teror yang banyak akibat cara pikir dan cara berjuang yang salah tersebut,” ujar Kurnia saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (2/11). 

Kurnia ialah bekas anggota kelompok Tauhid Wal Jihad pimpinan Aman Abdurrahman. Namanya juga pernah tercatat sebagai anggota Negara Islam Indonesia. Ia punya keahlian merakit bom. Pada 2010, Kurnia tertangkap karena tersangkut kasus bom Cibiru dan divonis enam tahun penjara.

Kurnia menghirup udara bebas pada 2014, sekitar dua tahun lebih cepat ketimbang vonis hakim. Di luar penjara, Kurnia langsung aktif menggelar program-program deradikalisasi mandiri di kalangan rekan-rekannya. Mulanya, ia aktif "berceramah" di media sosial.

“Sekitar tahun 2016, baru mulai kampanye deradikalisasi dan kampanye damai bersama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan AIDA (Aliansi Indonesia Damai),” ujar Kurnia.