Tiga syarat bagi pemerintah untuk membuka keran TKA

Pemerintah perlu menguji dampak masuknya TKA ke Indonesia. Apakah menguntungkan atau justru mengkhawatirkan bagi tenaga kerja di Indonesia.

Dosen Ekonomi FEB UI Ninasapti Triaswati, bicara soal tenaga kerja asing (TKA) di Jakarta kemarin. (Robi/ Alinea)

Fenomena maraknya tenaga kerja yang diimpor dari negara maju adalah isu yang biasa mewarnai momentum pergantian presiden. Sementara di negara asalnya, upaya itu ditempuh untuk menyelamatkan tenaga buruh yang terdesak karena krisis atau faktor lain.

Contohnya, saat General Motor di Amerika Serikat terancam kolaps, Barack Obama yang kala itu menjabat presiden bersikeras menasionalisasi perusahaan itu. "Penyelamatan karyawan perusahaan yang masih berkerja di perusahaan tersebut, digunakan sebagai dalih," ujar peneliti sekaligus Dosen Ekonomi Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati, dalam diskusi ketenagakerjaan, "Darurat TKA, Fiktif atau Realitas?", Jumat (27/04).

Jika kemudian sejumlah negara maju memilih mengekspor tenaga terdidiknya ke negara ketiga, itu menjadi persoalan tersendiri. Istri mendiang mantan Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menegaskan, isu tersebut harus benar-benar dipastikan keberadaannya. 

Ia tak antipati jika pemerintah ingin membuka keran bagi tenaga kerja asing (TKA) yang akan menyesaki pasar dalam negeri. Namun, imbuhnya, pemerintah perlu mempertimbangkan tiga batasan. Pertama, TKA hanya boleh masuk untuk jenis pekerjaan yang tidak menyangkut nasional security. Kedua, tidak yang berkenaan dengan low skill labour. Ketiga, pekerjaan tersebut memang masih dibutuhkan, sedang di Indonesia tenaga kerja di bidang itu masih minim.

Selain mempertimbangkan ketiga hal itu, pemerintah perlu melakukan kajian ihwal dampak masuknya TKA ke Indonesia. Apakah menguntungkan atau justru mengkhawatirkan bagi tenaga kerja domestik itu sendiri.