Kaum perempuan mendominasi jumlah pekerja migran asal Indonesia di berbagai belahan dunia. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Judha Nugraha menyebut sekitar 75% buruh migran di luar negeri adalah perempuan.
"Unfortunately (sayangnya), itu juga konsisten dengan jumlah kasus yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Tahun lalu, kita mencatatkan ada 67.000 kasus ini yang dihadapi oleh WNI pekerja perempuan,” kata Judha dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (23/7), seperti dikutip dari Antara.
Menurut Judha, jumlah kasus pekerja migran perempuan bermasalah terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, misalnya, jumlah kasus pekerja migran yang terjerat kasus hukum di luar negeri sebanyak 24.000 kasus.
“Kami antisipasi tahun depan akan banyak. Artinya apa? Tantangan terhadap pekerja migran perempuan juga semakin banyak dan semakin kompleks,” kata dia.
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) mencatat ada 295.439 PMI yang berangkat ke luar negeri sepanjang 2024. Mayoritas PMI bekerja pembantu rumah tangga (33,7%), caregiver atau pengasuh harian (17,%%), pekerja perkebunan (7,6%), dan pekerja konstruksi (6,8%).
Koordinator Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) Anastasia Kiki menilai tingginya jumlah kasus yang dihadapi pekerja migran perempuan mengindikasikan lemahnya perlindungan PMI oleh negara. Sebelum diberangkatkan, Kiki menduga PMI tidak dibekali dokumen administratif yang lengkap, jaminan sosial, dan akses terhadap perlindungan hukum.
"Yang bermain adalah logika corporate. Pemerintah mengejar keuntungan dan melihat pekerja migran bukan sebagai manusia atau warga negara yang butuh dilindungi, tetapi sebagai komoditas. (PMI) hanya dilihat dari satu sisi itu saja," kata Kiki kepada Alinea.id, Kamis (25/7).
Kiki menilai kondisi ini diperburuk dengan kondisi kemiskinan struktural di berbagai daerah yang jadi "produsen" PMI. Sebagian besar PMI perempuan berlatar dari kaum marjinal di desa. "Mereka diharapkan bisa mengubah nasib untuk hidup lebih sejahtera dan meningkatkan status sosial," kata Kiki.
Celah eksploitasi terhadap PMI perempuan, kata Kiki, sudah terbuka sebelum keberangkatan ke luar negeri. Dalam banyak kasus, agen penyalur PMI dilaporkan karena memalsukan dokumen demi memenuhi syarat administrasi. Selain itu, banyak PMI dipaksa berutang kepada agen supaya bisa berangkat ke luar negeri.
"Modal berangkat diperoleh dari utang akhirnya itu menjebak mereka dalam pusaran kemiskinan struktural lebih dalam. Risiko yang dihadapi oleh pekerja migran tidak sebanding dengan perlindungan dan hasil kerja yang didapat seringkali jauh dari sejahtera. Bahkan, bisa-bisa pekerja migran itu pulang tinggal nama," kata Kiki.
Menurut Kiki, pemerintah perlu kerja ekstra keras marathon untuk merancang skema pelindungan PMI perempuan jerat sindikat penyalur migran ilegal dan perdagangan orang. Sebelum diberangkatkan, PMI perempuan mesti dibekali dengan beragam edukasi.
"Edukasi tentang hukum. Paling tidak mereka tahu harus kemana untuk memperoleh perlindungan sehingga mengurangi kerentanan mereka. Daerah juga jangan tutup mata terhadap praktik pemalsuan dokumen dan kelengkapan pekerja migran. Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi pekerja migran di semua lini," kata Kiki.