Kerukunan di bumi Sunda Wiwitan: Sepengertian meski tak sepengakuan 

Toleransi dan saling menghormati antar umat beragama telah menjadi tradisi yang berurat-berakar di kalangan pemeluk Sunda Wiwitan.

Ilustrasi kerukunan umat beragama di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin/Oky Diaz

Detik-detik menjelang malam Natal selalu menjadi waktu yang istimewa bagi Subrata dan istrinya, Rukwati. Sejak Kamis (24/12) pagi, keduanya sudah sibuk mempercantik rumah mereka di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Berbagai kudapan dan pernak-pernik khas Natal disiapkan. 

Menjelang sore, suasana rumah yang sebelumnya sepi mendadak meriah. "Nah, ini anak sama cucu saya yang Katolik dari Bandung. Saya juga punya dua anak yang penghayat kepercayaan," seru Rukwati saat menyambut kedatangan putri bungsu dan cucunya di depan pintu. 

Subrata dan Rukwati merupakan penghayat Sunda Wiwitan. Mereka memiliki dua putri dan satu putra. Satu putra dan satu putri mereka ikut kepercayaan orang tua dan memeluk Sunda Wiwitan. Si bungsu ikut suaminya yang beragama Katolik. 

Subrata menuturkan, ia tak pernah mempersoalkan pilihan agama putra dan putrinya. Apalagi, keluarga berbeda agama merupakan hal yang lumrah di kalangan kaum Sunda Wiwitan di perkampungan yang terletak di kaki Gunung Ciremai itu. 

"Kami dipesankan oleh leluhur kami, 'Meskipun hidup tidak sepengakuan tapi kita hidup harus saling pengertian.' Artinya, kita hidup harus mengedepankan sifat perikemanusiaan. Bagi saya, kalau sudah dewasa itu adalah hak dia (putra-putrinya) sendiri mau ke mana," tutur pria berusia 72 tahun itu.