Pemerintah sedang menyusun regulasi khusus untuk menangani anak yang tidak sekolah dan anak yang rentan putus sekolah.
Angka putus sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3t) masih sangat tinggi. Faktor kendala ekonomi, keterbatasan akses serta faktor sosial-budaya menjadi penyebab anak-anak di daerah berkategori itu cenderung tak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Yudhistira Nugraha dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, Senaya, Jakarta, Rabu (12/3) lalu.
"Adanya faktor sosial dan budaya seperti norma yang mengedepankan pekerjaan di usia muda juga dapat memengaruhi keputusan siswa untuk melanjutkan pendidikan. Kendala transportasi dan jarak yang jauh ke sekolah juga seringkali menjadi alasan utama siswa putus sekolah," jelas Yudhistira.
Penentuan daerah 3T merujuk pada Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2020. Sebanyak 62 kabupaten masuk kategori tersebut, semisal Aceh Singkil di Provinsi Aceh, Nias, Nias Selatan, Nias Utara, dan Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara, serta Kepulauan Mentawai, Solok Selatan, dan Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat.
Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, menurut Yudhistira, angka putus sekolah di daerah 3T pada semua jenjang pendidikan jauh lebih tinggi. Di Kabupaten Yalimo di Provinsi Papua, misalnya, angka putus sekolah pada jenjang SD sekitar 2,40%. Secara nasional, rata-rata angka putus sekolah tingkat SD sebesar 0,16.