Anak-anak yang tumbuh dengan dua bahasa membawa kekuatan tersembunyi dalam cara mereka belajar dan terhubung dengan dunia. Selama ini, kemampuan bilingual sering dilihat semata sebagai alat praktis untuk berkomunikasi.
Namun, riset psikologi pendidikan menunjukkan: ia jauh lebih dari itu. Bilingualisme menyalakan daya belajar, memperkaya perkembangan sosial, dan menumbuhkan kedewasaan emosional. Dengan dua bahasa, anak-anak belajar melihat dunia dari dua jendela pandang sekaligus.
Salah satu manfaat paling berpengaruh dari bilingualisme terletak pada kemampuan berpikir tingkat tinggi—yang oleh para peneliti disebut executive function advantage. Inilah seperangkat kemampuan mental yang menopang pengendalian diri, fleksibilitas berpikir, dan daya ingat kerja.
Perpindahan konstan antara dua bahasa memberi anak latihan terus-menerus: bagaimana fokus di tengah gangguan, memecahkan masalah dengan cara berbeda, dan menyesuaikan diri dengan tantangan, baik di sekolah maupun dalam hidup.
Sebuah studi terbaru yang digelar Rasha Sami dan Maha Ahmed di Mesir mendukung hal ini. Dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Springer, Juli lalu, Sami dan Ahmed menemukan bahwa penguasaan dua bahasa pada anak-anak mempengaruhi kemampuan kognitif mereka.
"Hasil tes standar menunjukkan bahwa anak bilingual memiliki keunggulan kognitif yang signifikan, terutama dalam hal-hal seperti memori kerja dan penalaran," tulis Sami dan Ahmed dalam dokumen hasil penelitian.
Dalam risetnya, para peneliti mengevaluasi seratus anak yang mampu berbicara bahasa Arab di rumah dan bahasa Inggris di sekolah. Hasilnya, anak-anak yang fasih dua bahasa cenderung unggul dibanding teman-teman monolingual dalam penalaran, memori, dan pemecahan masalah.
Tak hanya itu, IQ rata-rata anak bilingual cenderung lebih tinggi ketimbang anak-anak yang hanya mampu menguasai satu bahasa. Temuan sini menepis anggapan lama bahwa dua bahasa memperlambat perkembangan intelektual anak.
"Anak-anak bilingual memiliki kinerja yang lebih baik daripada anak-anak monolingual dalam tugas-tugas yang mengharuskan mereka memecahkan masalah dan beralih di antara tugas-tugas tersebut," jelas para peneliti.
Menumbuhkan empati
Namun, kekuatan bilingualisme tak berhenti di ranah kognitif. Ada sisi lembut yang tak kalah penting: empati. Anak-anak bilingual belajar menavigasi dua budaya, dan dari pengalaman itu tumbuh rasa hormat, pengertian, serta kemampuan melihat kehidupan dari berbagai sudut.
"Setiap percakapan lintas bahasa menjadi latihan untuk memahami perbedaan, memperdalam koneksi, dan memperkaya cara mereka berelasi dengan teman-temannya," tulis peneliti American Psychological Association (APA) dalam sebuah analisis di Psychological Today, Senin (6/10).
Hingga kini, masih ada kekhawatiran yang membayangi. Sebagian orang tua dan guru khawatir anak akan tertinggal bila belajar dua bahasa bersamaan. Ada pula yang takut bahwa mempertahankan bahasa ibu justru menghambat asimilasi ke budaya dominan.
Padahal, riset menunjukkan hal sebaliknya. Anak-anak yang tetap menggunakan bahasa rumah justru lebih cepat menguasai bahasa kedua, dan keterhubungan dengan budaya keluarga memperkuat, bukan melemahkan, kemampuan mereka untuk tumbuh di lingkungan yang beragam.
APA juga tak menafikan peran orang tua. Berbicara dalam bahasa ibu setiap hari, berbagi cerita, dan merayakan tradisi keluarga memberi anak rasa percaya diri dan kebanggaan yang dalam. Ketika anak merasa bangga dengan bahasa pertama mereka, mereka lebih siap belajar bahasa kedua, sambil membawa identitas yang kokoh dan bertahan lama.
"Psikologi pendidikan mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar urusan nilai ujian. Ia adalah proses menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, berempati, dan tangguh menghadapi masa depan. Bilingualisme menyalakan semua itu—membentuk anak yang lebih utuh dan siap menghadapi dunia yang saling terhubung," tulis APA.