Ketika pemda diberi ruang untuk menggerakkan Puskesmas, Posyandu, hingga Satgas lokal, respons menjadi lebih cepat, efektif, dan sesuai kebutuhan daerah.
Analis politik dari UIN Kholidul Adib menilai, program Makan Bergizi Gratis (MBG) tampak karut-marut karena dipersiapkan terburu-buru dan kurang melibatkan pemda. Padahal, pengalaman saat menghadapi pandemi Covid-19 telah menunjukkan betapa pentingnya desentralisasi kewenangan.
Ketika pemda diberi ruang untuk menggerakkan Puskesmas, Posyandu, hingga Satgas lokal, respons menjadi lebih cepat, efektif, dan sesuai kebutuhan daerah. Prinsip ini bisa diterapkan kembali untuk MBG.
Kholid menekankan pentingnya investigasi menyeluruh atas insiden keracunan—apakah disebabkan kelalaian pengolahan menu, kesalahan teknis, atau bahkan sabotase. Namun yang lebih penting adalah memperbaiki tata kelola dengan membuka ruang kolaborasi yang nyata antara pusat dan daerah. Pemda memiliki perangkat kesehatan serta fasilitas yang bisa dikerahkan segera ketika insiden terjadi, sehingga risiko bisa diminimalisir sejak awal.
Hal serupa disampaikan dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana Ricky Ekaputra Foeh. Menurutnya, arahan Mendagri agar pemda sigap dan proaktif adalah langkah penting. Pemda perlu diberi otoritas langsung untuk mengawasi dapur penyedia MBG, menugaskan ahli gizi, serta memantau distribusi hingga konsumsi di sekolah. Sementara itu, BGN tetap memegang standar nasional terkait gizi dan kualitas menu.
Ricky menambahkan, pola co-governance seperti saat Covid-19 bisa menjadi model terbaik: pusat menetapkan standar, pemda mengawal eksekusi di lapangan. Dengan akses data yang lengkap, pengawasan bisa dilakukan berlapis—BGN mengontrol standar, sementara pemda mengawasi operasional harian agar aman dan sesuai kebutuhan.