Gerindra dinilai bisa bikin koalisi Jokowi 'membusuk'

Langkah Gerindra bergabung dengan koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf kian mulus.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (tengah) usai melakukan pertemuan di kawasan Permata Hijau, Jakarta, Minggu (13/10). /Antara Foto

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana, Syaifuddin mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan elite-elite parpol pendukung pemerintah harus berhati-hati menyikapi wacana masuknya Gerindra ke koalisi. Menurut dia, Gerindra bisa bermanuver memicu perpecahan di internal koalisi. 
 
"Di sisi inilah pemerintahan Jokowi perlu ekstra hati-hati karena kubu Gerindra dapat memainkan trik politiknya baik secara positif maupun negatif, misalnya proses pembusukan politik dari dalam (koalisi), sebagaimana logika teori konflik," kata Syaifuddin saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (14/10). 

Sinyal Gerindra bakal segera pindah gerbong kian menguat setelah Prabowo Subianto bertemu Jokowi di Istana Negara, Jumat (11/10) lalu. Dua hari berselang, Prabowo diundang Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh untuk berbincang di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan-pertemuan itu digadang sebagai upaya memuluskan langkah Gerindra berbagung dengan kubu pemerintah.

Jika terealisasi, menurut Syaifuddin, Gerindra dan koalisi parpol pendukung pemerintah menampilkan tontonan politik yang buruk dari etika dan estetika. Tak pelak, banyak parpol di internal KIK juga yang akan 'tersakiti' karena Gerindra masuk. 

"Strategi politik semacam ini bisa berakibat negatif karena pembagian jatah kursi yang dapat dinilai tidak adil oleh pihak partai koalisi pendukung Jokowi dalam pilpres 2019," jelas Direktur Eksekutif Prestigious Political Communication Studies (P2CS) itu.

Lebih jauh, Syaifuddin mengatakan, bagi-bagi kursi antara koalisi dan Gerindra sebagai eks oposisi bakal berdampak meningkatkan kekecewaan masing-masing pendukung, baik Jokowi maupun Prabowo. Jika tidak diantisipasi, kekecewaan tersebut bisa melahirkan gerakan politik anti-pemerintah dari kalangan masyarakat pendukung kedua kubu.