Kursi pimpinan MPR mesti diisi negarawan 

Wacana menghidupkan kembali GBHN bisa menjadi bola liar.

Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Agun Gunandjar (kedua kanan) bersama Wasekjen DPP Partai Gerindra Andre Rosiade (kanan), Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding (kedua kiri) dan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus (kiri) saat menjadi pembicara dalam diskusi Alinea Forum di Cikini, Jakarta, Rabu (7/8). /Antara Foto

Perebutan posisi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI diprediksi bakal berlangsung panas hingga menit terakhir. Pasalnya, tak hanya dibidik parpol-parpol kubu Jokowi-Ma'ruf, posisi kursi pimpinan MPR juga diminati parpol kubu oposisi. 

Ketua DPP PKB Abdul Karding memandang perebutan ketua MPR memang pantas disebut 'seksi'. Pasalnya, Ketua MPR mempunyai kemewahan untuk duduk bersanding dengan Presiden dan pejabat negara lainnya. 

"Wajar kalau MPR ini diperebutkan atau seksi. Yang menjadi Ketua MPR, otomatis akan membantu yang bersangkutan atau institusi menjadi baik," ujar Karding dalam Alinea Forum bertajuk 'Berebut Kursi Ketua MPR' di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (7/8). 

Kompetisi memperebutkan kursi MPR 1, lanjut Karding, kian panas seiring berembusnya wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) via  amandemen terbatas Undang-undang Dasar (UUD) 1945. "Amandemen itu bisa menjadi begitu liar dan menjadi sangat berbahaya," kata dia. 

Karena itu, menurut Karding, posisi pucuk pimpinan MPR harus dimusyawarahkan secara matang dan jeli. Sebagai lembaga yang menonjolkan musyawarah dan kekeluargaan, Karding mengusulkan agar kursi Ketua MPR diisi oleh negarawan yang minim kepentingan politik.