Menelusuri akar masyarakat permisif terhadap politik dinasti

Praktik politik dinasti merusak demokrasi karena kontrol terhadap kekuasaan melemah sehingga memperbesar risiko terjadinya korupsi.

Masyarakat Indonesia cenderung permisif terhadap praktik politik dinasti, termasuk yang dilakukan Jokowi. Foto Antara/Widodo S. Jusuf

Isu politik dinasti kembali mengemuka di Indonesia seiring lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka kesempatan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) cum Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ia pun menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.

Persoalannya bukan karena Putusan 90 terbit, tetapi proses pemeriksaan hingga pemutusan perkara tersebut keluar karena keterlibatan paman Gibran atau ipar Jokowi sekaligus Ketua MK kala itu, Anwar Usman.

Hal ini menyalahi Sapta Karsa Hutama, utamanya prinsip integritas, ketidakberpihakan, kecakapan dan kesetaraan, kepantasan dan kesopanan, serta independensi. Itu diperkuat dengan Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) 02/MKMK/L/11/2023 sehingga Anwar dicopot sebagai Ketua MK karena melakukan pelanggaran etik berat.

Presiden Jokowi membantah bahwa dirinya membangun dinasti. Kilahnya, rakyat yang menentukan siapa yang akan menentukan siapa yang akan memimpin kelak dalam pemilu.

"Baik itu di pilkada, di pemilihan wali kota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, itu semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat," tuturnya di Jakarta, 24 Oktober silam.