sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengikat rezeki dari simpul tali ala makrame

Pasar global makrame terbuka luas namun UMKM terkendala proses ekspor.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 16 Jan 2023 07:10 WIB
Mengikat rezeki dari simpul tali ala makrame

Sejak berkembang di tanah air pada tahun 2015-an, seni macramé atau makrame mulai menunjukkan kepopulerannya pada sekitar tahun 2018 seiring dengan tren bohemian style yang sedang naik daun. Di mana pada style dekorasi ini, makrame menjadi salah satu ornamen penting untuk hiasan dinding.

Seniman tekstil yang fokus pada seni makrame Agnes Hansella menjelaskan, meski belum lama populer, makrame sebenarnya merupakan karya kuno yang sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu. 

“Makrame sebenarnya dari Arab, terus kembali lagi ngetren. Di situ mereka (pembuat makrame) mulai bikin makrame yang tadinya metode ikat jadul, sekarang diperbarui dan dimodernkan dengan pattern-pattern (pola-pola) baru,” jelasnya, saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa pekan lalu.

Dulu, makrame banyak dibuat menggunakan tali polyester alias tali yang dibuat dengan campuran plastik, berukuran lebih kecil dan mudah dicari di pasaran. Namun, sekarang ini makrame dibuat menggunakan tali katun. Tali ini menghasilkan karya yang lebih matte dan ramah lingkungan.   

Tidak hanya itu, makrame yang sebelumnya lebih dikenal sebagai hiasan dinding, kini mulai dibuat lebih beragam. Pengrajin makrame atau yang kerap disebut macramé makers banyak pula yang mengkreasikan kriya tekstil ini sebagai dekorasi pernikahan atau backdrop, dekorasi rumah, atau keperluan lainnya.

Dengan pembuatannya yang masih tradisional, yakni full dengan tangan dan tanpa alat, makrame memiliki nilai jual cukup tinggi. Belum lagi, peminatnya pun cukup banyak, tidak hanya dari Indonesia saja dan juga berasal dari berbagai latar belakang.

“Kalau di aku, pembeli makrame banyak, tapi umumnya wedding organizer, teman-teman (pembuat) film yang menggunakan makrame sebagai set film atau fashion enthusiast yang pesan makrame buat dijadikan untuk tas atau aksesoris lain,” beber penulis buku Macramé Kreasi Tali untuk Dekorasi Rumah sekaligus juga pemilik toko Macrame Indonesia itu.

Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan. (Dokumentasi Dewa Collection Bali)

Sponsored

Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita pun mengamini, peminat produk makrame tidak hanya berasal dari Indonesia saja, melainkan juga ada di berbagai negara. Dengan tidak semua orang bisa membuat karya apik dari simpul-simpul tali ini, semakin membuka lebar jalan para pembuat makrame untuk memasarkan produknya hingga ke berbagai pelosok dunia. 

Apalagi, saat ini teknologi sudah semakin berkembang dan jaringan marketplace dapat dengan mudah menjangkau pembeli bahkan dari negara yang terletak jauh dari Indonesia.

“Karena itu, kami mendorong para pengusaha makrame yang banyak dari mereka merupakan IKM untuk bisa go online, memasarkan produknya melalui digital,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (13/1).

Tantangan digital

Namun, memasarkan produk melalui marketplace ini justru menjadi tantangan bagi IKM, khususnya sektor aneka, kimia, sandang, dan kerajinan. Hal inilah yang membuat kinerja industri kerajinan nasional masih belum maksimal hingga saat ini.

Hingga 30 November 2022, ekspor produk kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur), dan barang anyaman dari bambu, rotan, dan sejenisnya justru turun 42,09% dari periode yang sama di tahun sebelumnya, menjadi US$291,64 juta atau sekitar Rp4,37 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Sementara impor produk ini tumbuh 44,14% menjadi US$65,33 juta atau sekitar Rp979,95 miliar hingga November tahun kemarin.

Kinerja ekspor dan impor Produk Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak termasuk Furnitur), dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan sejenisnya tahun 2020

Periode

Impor

Ekspor

Nilai (US$ Juta)

Pertumbuhan yoy (%)

Nilai (US$ Juta)

Pertumbuhan yoy (%)

November 2022

65,33

44,14

291,64

-42,09

September 2022

37,21

-1,28

337,87

-19,15

Juni 2022

54,40

27,33

409,67

5,71

Maret 2022

38,69

12,29

427,14

16,88

Desember 2021

46,26

45,87

518,15

54,17

Sumber: Laporan Ekspor Impor Hasil Pengolahan Kementerian Perindustrian

Meski begitu, dari data yang dihimpun Reni, khusus untuk kerajinan mencatatkan kinerja yang cukup menggairahkan, yakni sebesar US$725 juta atau sekitar Rp10,6 triliun dalam waktu sembilan bulan pertama 2022. Nilai tersebut menunjukkan peningkatan sebanyak 6,94% dibanding periode Januari-September 2021, yang hanya senilai US$678,42 juta.

“Ini menunjukkan kalau industri kerajinan kita masih bisa tumbuh dan berkontribusi lebih banyak lagi untuk perekonomian Indonesia,” imbuhnya.

Untuk mencapai tujuan ini, Reni mengaku, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan lainnya. Di saat yang sama, Kemenperin melalui Ditjen IKMA juga menggandeng pemerintah daerah, asosiasi pelaku usaha, desainer, akademisi, marketplace, hingga influencer.

“Ini penting sekali. Pemda untuk menggali potensi IKM kerajinan yang ada di daerahnya sekaligus mendorong mereka agar lebih berdaya saing lagi. Kemudian yang lainnya, influencer untuk membantu pemasaran produk IKM,” jelas dia.

Sementara itu, laporan Transparency Market Research memproyeksikan, pada tahun 2021 hingga 2031, produk makrame masih akan populer di pasar negara-negara berkembang seperti India, Bangladesh, termasuk Indonesia dan juga negara-negara di Eropa seperti Inggris, Italia dan Spanyol. 

Hal ini tak lain karena produk kriya tekstil ini tergolong ramah lingkungan dan terlihat cantik sebagai elemen dekorasi rumah. Bahkan, masyarakat dari negara-negara di Eropa, terutama dari kalangan milenial, kerap kali menggunakan makrame sebagai aksesoris.

Foto Pixabay.com.

Produk yang dipasarkan pun beragam, tidak terbatas hanya pada hiasan dinding saja. Sebut saja aksesoris anting, taplak meja, tatakan gelas, cermin dinding, gantungan pot, tas, gelang, tikar, baju, dan lain sebagainya. Di mana karya dari jalinan tali ini dapat dijual dengan harga paling rendah US$15 ke bawah untuk sebuah produk, hingga paling tinggi lebih dari US$51 untuk produk berukuran besar atau memiliki simpul rumit, maupun gabungan dari keduanya.

Pada dasarnya, semakin rumit pola dan semakin besar ukurannya, makrame akan memiliki nilai jual yang kian mahal pula. Sebab, untuk membuat karya seperti ini membutuhkan waktu lebih lama dan bahan dasar maupun aksesoris lebih banyak pula.

“Waktu itu pernah bikin karya kisaran ukuran 160 cm, simpul lumayan rapat. Selain itu pernah juga untuk karya semacam backdrop lebar 3 meter, ini termasuk karya terbesar saya,” beber pembuat makrame Triyana, saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/1).

Untuk produk ukuran jumbo ini, pemilik jenama Taritali Macrame ini pun mematok harga beragam, mulai dari Rp385.000 untuk tirai pintu berukuran 87 cm x 180 sampai 200 cm, Rp1,2 juta untuk backdrop berukuran 180 cm x 200 cm, hingga Rp1,5 juta untuk tirai jendela berukuran 150 cm x 200 cm. Sementara untuk hiasan dinding berpola rapat, gadis 25 tahun ini mematok harga Rp480.000 sampai Rp950.000.

Untuk pasar, Triyana mengaku kini tak hanya menjual produknya di dalam negeri saja. Dia juga memasarkan hasil karyanya bersama tiga orang karyawannya itu ke negara lain, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, hingga Belanda. Adapun pesanan yang mampu dikerjakan Taritali sekarang mencapai lebih dari 50 produk dengan beragam ukuran tiap bulan.

“Padahal pas awal-awal dulu cuma satu atau dua produk seminggu,” kisahnya.

PDB Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak termasuk Furnitur), dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya

Periode

PDB

Pertumbuhan year on year

Q2 2022

Rp14,18 triliun

5,36%

Q1 2022

Rp14,85 triliun

8,27%

Q4 2021

Rp14,58 triliun

1,13%

Q3 2021

Rp14,29 triliun

-1,24%

Q2 2021

Rp13,46 triliun

-6,07%

Q1 2021

Rp13,72 triliun

-8,51%

Q4 2020

Rp14,41 triliun

-4,36%

Q3 2020

Rp14,47 triliun

-5,92%

Q2 2020

Rp14,33 triliun

-1,23%

Sumber: Badan Pusat Statistik

Go international

Perempuan yang karib disapa Ana ini mengaku, untuk sampai di titik yang sekarang bukanlah hal mudah baginya. Apalagi, saat memulai usahanya pada akhir tahun 2019, dirinya masih duduk di bangku kuliah. Bahkan, setelah setahun berjalan, ketika pesanan mulai rutin datang, dirinya juga harus menyelesaikan skripsinya.

“Jadi mau enggak mau ya harus bisa bagi waktu. Dan pada saat itu juga aku memutuskan untuk ngerekrut tiga orang buat bantuin,” imbuhnya.

Hal serupa juga berlaku saat ia mulai menjual produknya ke luar negeri. Pada mulanya, tanpa berharap banyak, Ana menyambut ajakan Shopee untuk bergabung sebagai toko internasional. Tak disangka, usaha ini membuahkan hasil, ada pembeli dari Malaysia yang berminat membeli produknya. Meski produk tersebut merupakan produk paling sederhana.

Berbekal selembar katalog produk, perempuan asal Magelang, Jawa Tengah juga nekat menawarkan produknya dari pintu ke pintu toko-toko home décor yang kebanyakan berada di daerah Kasongan, Yogyakarta. Selain mendapat penolakan, Ana ternyata juga mendapat respon positif. Sebuah toko berniat menjual produknya dan menjadikan Taritali sebagai supplier produk makrame. Sayangnya, kerjasama ini hanya seumur jagung.

Foto Pixabay.com.

“Sampai akhirnya, ada toko yang berlanjut. Saya jadi supplier rutin mereka. Nah mereka ini punya customer dari Belanda dan customer-nya itu pesan produk saya. Jadi banyak juga pesanan dari luar negeri dari situ. Selain juga saya buka toko di e-commerce Etsy yang khusus untuk pasar luar negeri,” ujar Ana.

Berbeda dengan Taritali Macramé yang lebih fokus memasarkan hiasan dinding dan tirai, Baiq Amaliya Novianti menjajakan lebih banyak produk. Di bawah merek Vivi Makrame Jogja, pihaknya menawarkan makrame dalam bentuk pajangan dinding, kursi ayunan, tas, dompet, sarung bantal, taplak meja, cermin dinding, tatakan gelas, hingga gantungan kunci. 

Harganya pun beragam, mulai dari Rp6.000 untuk gantungan kunci makrame berukuran kecil, cermin makrame seharga Rp100.000-Rp120.000, tas tangan yang dibanderol dengan harga Rp135.000-Rp150.000, dompet (clutch) Rp100.000, ayunan makrame sekitar Rp750.000, hingga backdrop berukuran 150 cm x 200 cm seharga sekitar Rp700.000.

Ibu dua anak ini fokus memasarkan karya makramenya melalui Shopee, WhatsApp dan Instagram. Sedang untuk bisa sampai ke pasar global, Vivi mengaku kerap menitipkan produknya ke perusahaan-perusahaan kerajinan yang sudah berorientasi ekspor di Yogyakarta.

“Yang pesan (dari luar negeri) juga sudah lumayan, ada yang dari Malaysia, Singapura sama dari Amerika Serikat,” ungkap pengusaha makrame yang berbasis di Dusun Nglorong, Pundong, Bantul, Yogyakarta ini.

Pasar produk makrame Indonesia ke luar negeri memang masih terbuka lebar. Apalagi, karya-karya kriya tekstil dari macramé makers nasional tidak kalah cantik dari pengrajin-pengrajin makrame negara lain. Namun, untuk melakukan ekspor masih sangat sulit untuk dilakukan sendiri oleh produsen dengan skala UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) seperti dirinya.

“Karena pengurusan perizinan dan distribusi yang tidak mudah, sampai sekarang belum disanggupi. Padahal kami sudah ngurus izinnya sejak tahun lalu. Makanya, untuk ekspor, kami masih nitipin produk ke PT atau sebaliknya, PT minta produk dari kami, kalau mereka dapat pesanan,” keluh Vivi.

Hal ini pun diamini Meli Andani, pengusaha mekrame asal Mumbulsari, Jember. Karena proses yang panjang dan sulit, meski telah berproduksi sejak 2015 silam dan rutin mengirimkan karyanya ke berbagai negara di Eropa, Perempuan 37 tahun itu masih harus ‘menebeng’ perusahan pengekspor kerajinan untuk bisa menjual produknya ke pasar global. Meski jumlah produk yang dikirimnya ke luar negeri mampu mencapai 100 hingga 200 karya per bulan.

“Padahal produk saya malah lebih laku di luar negeri, dari di Indonesia. Karena kalau di Indonesia, sudah banyak pesaingnya,” bebernya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (13/1).

Foto Pixabay.com.

Kondisi ini pun jelas menurunkan nilai jual produknya. Bagaimana tidak, hasil karya dirinya dan 50 orang karyawannya ini harus dijual di bawah harga rata-rata pasar kepada perusahaan pengekspor tersebut. Alhasil, omzet yang bisa dikantonginya dari hasil ekspor ‘nebeng’ itu tidak sebesar jika dirinya bisa mengekspor produk makrame dengan berbagai bentuk tersebut sendiri.

“Makanya, kami berharap bisa menyelesaikan proses perizinan ini secepatnya. Jadi omzet yang kami dapat bisa lebih besar,” harapnya.  


 

Berita Lainnya
×
tekid