sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Negeri bejibun sumber karbohidrat tapi tersandera beras

Tingkat partisipasi konsumsi beras membentang dari Sabang sampai Merauke. Langkah diversifikasi pangan gagal. Mengapa?

Satriani Ari Wulan
Satriani Ari Wulan Senin, 22 Mei 2023 15:15 WIB
Negeri bejibun sumber karbohidrat tapi tersandera beras

Presiden Joko Widodo memuji kinerja pemerintah daerah di Jambi. Harga aneka kebutuhan pokok rakyat, termasuk beras, di wilayah itu relatif terkendali. Harga bahkan cenderung menurun dibandingkan saat Ramadan. Hanya harga telur ayam yang sedikit naik.

"Saya senang di Jambi inflasinya turun. Artinya harga-harga (kebutuhan pokok) bisa dikendalikan turun. Harga stabil dan ada beberapa yang turun. Hanya telur saja sedikit naik," kata Jokowi saat mengunjungi Pasar Rakyat Talang Banjar, Kota Jambi, Selasa (16/5) lalu.

Dalam berbagai kunjungan ke daerah, mantan Gubernur DKI Jakarta itu hampir selalu menyempatkan mampir ke pasar. Selain bertanya ke pedagang, Jokowi mengecek langsung harga di pasar. Ia biasanya segera meminta para pembantunya untuk bertindak bila ada harga komoditas pangan naik.

Menurut Jokowi, pengecekan harga di pasar penting dilakukan guna mengendalikan inflasi yang memengaruhi daya beli masyarakat. Jokowi meminta pemda selalu mengecek kondisi lapangan. Selain itu, pemda bisa melakukan langkah konkret: membantu biaya transportasi.

"Sudah bolak balik saya sampaikan membantu (biaya transportasi) dari APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk membiayai biaya transpor dari tempat produksi ke pasar. Itu jelas konkret," kata Jokowi.

Momok inflasi dan kemiskinan

Setiap periode kepresidenan, salah satu yang dijaga adalah harga-harga kebutuhan pokok. Langkah itu berangkat dari keyakinan harga kebutuhan pokok yang stabil membuat inflasi stabil. Sebaliknya, bila harga aneka kebutuhan pokok tidak terkendali inflasi bisa meroket tinggi. Daya beli warga, terutama yang miskin, bisa terganggu. Ujung-ujungnya angka kemiskinan bakal naik.

Garis kemiskinan Badan Pusat Statisik (BPS) dibedakan jadi dua: garis kemiskinan makanan dan nonmakanan. Misalnya, Rp397.125 atau 74,15% dari garis kemiskinan pada September 2022 sebesar Rp535.547/kapita/bulan adalah garis kemiskinan makanan. Dari 13 jenis komoditas penyusun garis kemiskinan makanan, beras mendominasi. Porsi beras mencapai 20,97% dari total garis kemiskinan.

Sponsored

Dengan kondisi seperti itu, mudah dimengerti bila pemerintah kebat kebit tatkala harga beras naik dan tak terkendali. Segala upaya dilakukan, termasuk menyuntik pasar lewat operasi pasar beras oleh Bulog, seperti masif dilakukan sejak Agustus 2022 lalu. Impor besar jadi opsi lain.

Sikap pemerintah yang waswas terhadap harga beras sudah terjadi sejak dahulu kala. Pada dekade 1970-an, ketika produksi beras masih terbatas, tidak stabil, dan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, kelangkaan beras selalu dihindari oleh pemegang tampuk kekuasaan. Seperti kesaksian salah satu arsitek ekonomi Indonesia, Radius Prawiro, dalam buku 'Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme Dalam Aksi' (1998, halaman 180), “Kelangkaan beras merupakan pengalaman menakutkan bagi orang Indonesia, seolah-olah langit akan runtuh.”

Situasi itu terjadi karena pada akhir 1960-an beras menduduki posisi amat strategis di masyarakat. Saat itu harga beras merupakan barometer kemampuan pemerintah dalam memelihara stabilisasi ekonomi dan sosial, sehingga memengaruhi perilaku para pelaku pasar dan masyarakat.

Pada permulaan Orde Baru harga beras amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Ini ditandai oleh bobot beras dalam struktur indeks biaya hidup, yang menurut Boediono dalam 'Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah' (2016, halaman 123), mencapai 30%. Saat itu, ketika harga beras naik akan diikuti kenaikan harga barang-barang lain. Karena itu, pada tahun-tahun awal Orde Baru itu ekonomi Indonesia mendapat julukan “ekonomi beras”.  

Setengah abad berlalu, bobot beras dalam perhitungan indeks biaya hidup atau indikator inflasi menurun drastis, yang pada 2018 tinggal 3,32%. Namun demikian, besarnya sumbangan beras dalam garis kemiskinan membuat posisi penting beras dalam belanja warga belum tergeser komoditas lain. Karena itu, pemerintah akan melakukan apapun untuk memastikan stok beras aman, termasuk impor.

Evolusi pola pangan

Sebagai negara beriklim tropis, merujuk Agung Hendriadi dalam 'Diversifikasi Pangan' (2018, halaman 4), Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati yang amat kaya: nomor dua di dunia setelah Brazil. Sumber karbohidrat ada 77 jenis, sumber protein 75 jenis, buah-buahan 389 jenis, sayuran 228 jenis, kacang-kacangan 26 jenis, serta rempah dan bumbu 110 jenis.

Di masa lalu, nenek moyang terbiasa mengonsumsi aneka macam tanaman itu sebagai cara untuk bertahan hidup dan membebaskan diri dari kelaparan. Negeri ini, seperti dicatat Khudori dalam 'Ironi Negeri Beras' (2008, halaman 114), pernah memiliki aneka pola pangan khas. Misalnya, sagu sebagai makanan pokok warga Maluku, dan umbi-umbian makanan khas orang Papua.

Pola makan terbentuk dari hasil interaksi warga atas lingkungan. Warga yang tinggal di daerah kering rata-rata memakan jagung atau umbi-umbian sebagai makanan pokok. Jagung dan umbi tidak memerlukan banyak air, sehingga cocok tumbuh di daerah kering. Ekologi Nusa Tenggara, baik Nusa Tenggara Timur maupun Nusa Tenggara Barat, kurang mendukung untuk berproduksi padi.

Biofisik Nusa Tenggara amat cocok untuk menghasilkan jagung dan umbi-umbian, terutama ubi kayu. Makanya, secara turun-temurun pola konsumsi pangan pokok rata-rata penduduk di sana adalah jagung. Demikian pula di Papua, yang memiliki tak kurang dari 5.000 varietas umbi kayu.

Namun, karena intervensi negara lewat kebijakan yang bias beras, pola makan khas, unik, dan beragam itu bergeser ke satu jenis pangan: beras. Pergeseran drastis terjadi sejak Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984.

Pada 1954, pangan sumber karbohidrat warga masih beragam. Porsi beras menyumbang setengah lebih sedikit, persisnya 53,5%, dari keseluruhan sumber karbohidrat. Sisanya dipasok dari singkong, jagung, dan kentang. Setelah swasembada beras, beras mendominasi. Sampai saat ini.

Menyadari 'kekeliruan' ini, pemerintah menggalakkan program diversifikasi pangan. Bahwa untuk kenyang tidak harus beras. Sumber karbohidrat itu banyak. Baik dari padi-padian atau serealia (padi, jagung, sorgum, hotong, jali, jewawut) maupun dari umbi-umbian (singkong, ubi jalar, talas, ganyong, gembili, garut, gadung) dan buah (sukun, pisang, labu kuning, buah bakau).

Semua periode kepresidenan tidak ada yang absen mengusung program ini, termasuk Presiden pertama RI: Sukarno. Program berlanjut ke era Presiden Soeharto. Bahkan, di era presiden kedua RI ini diterbitkan Inpres No. 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Dipopulerkan slogan pangan bukan hanya beras, termasuk kampanye "Aku Cinta Makanan Indonesia".

Puncak upaya diversifikasi pangan ditandai keluarnya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang kemudian diubah jadi UU No. 18/2012. Pada 2001 dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin Presiden. Untuk merumuskan kebijakan, mengevaluasi dan mengendalikan penyediaan, distribusi, cadangan, dan penganekaragaman pangan dikeluarkan PP No. 83/2006 tentang DKP.

Namun demikian, langkah diversifikasi pangan itu jauh dari berhasil. Konsumsi beras memang cenderung menurun, termasuk total konsumsi sumber karbohidrat: dari 174,2 kg/kapita/tahun pada 1954 menjadi 124,9 kg/kapita/tahun pada 2020. Akan tetapi, ketergantungan sumber karbohidrat warga dari beras belum tergantikan. Ironisnya, penurunan konsumsi beras diikuti kenaikan konsumsi karbohidrat dari terigu yang diolah dari gandum impor.

Selain karena kebijakan yang bias beras, beleid diversifikasi pangan juga tidak konsisten, dan juga tidak ada kebijakan spesifik pangan nonberas yang membuat pangan alternatif tak tersedia. Kampanye diversifikasi dilakukan para elite atau pejabat yang tidak menyentuh masyarakat akar rumput. Di masa lalu, seluruh aparatur sipil negara mendapat jatah beras. Bahkan, bantuan pangan untuk rakyat miskin diberikan dalam bentuk beras, seperti program Raskin, yang kini berlanjut ke Bantuan Pangan Non-tunai.

Beras memang unggul

Di luar itu, dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dibandingkan pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, mudah dikombinasikan dengan pangan lain, rasanya relatif netral, dan kandungan energinya mencapai 360 kilokalori per 100 gram. Dengan kandungan protein 7,2 gram per 100 gram, beras juga merupakan sumber protein yang penting.

Itulah sebabnya, merujuk 'Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan' (2021, halaman 45-46), sumbangan beras terhadap total konsumsi energi dan protein warga masih tinggi: 45,7% dan 38,0%. "Siapa saja yang makan beras dalam jumlah cukup pasti tidak akan kekurangan kalori dan protein," ujar Rektor IPB University Arif Satria dalam sebuah webinar, Kamis, 4 Mei 2023.

Kandungan gizi beras, terigu, sorgum, dan singkong dalam 100 gram bahan
Komoditas Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Serat (gr)
Beras 360 7,2 0,7 78,9 0,4
Terigu 365 8,9 1,5 71,0 -
Sorgum 366 11,0 3,3 73,0 1,2
Singkong 154 1,0 0,3 36,8 0,9

Sumber: Tabel komposisi pangan Indonesia, Kemenkes 2017

Di luar itu, merujuk hasil penelitian Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) terhadap tingkat kepuasan dan perilaku konsumen beras di 13 daerah di Indonesia, konsumen masih menganggap penting makan nasi setiap hari. "Makanan nonberas (terigu dan lainnya) tampaknya tidak dapat menggantikan peran nasi sebagai makanan pokok, termasuk bagi masyarakat berpendapatan tinggi di perkotaan," tulis M Husein Sawit dan Bayu Krisnamurthi dalam 'Konsumen Beras: Preferensi dan Kesediaan Membayar' (2017, halaman 5).

Konsumsi beras di perkotaan rerata 70,4 kg/kapita/tahun dengan frekuensi pembelian 3-6 kali per bulan dalam kemasan kecil: 2 kg. Selain memudahkan penyimpanan, pembelian dalam jumlah kecil membuat beras selalu baru. Apalagi, tempat pembelian, seperti supermarket, mudah dijangkau.

Sebanyak 73% rumah tangga berpendapatan rendah dan 86% yang berpendapatan tinggi mengutamakan beras bermerk atau jenis beras tertentu. Kesadaran ini muncul seiring berdirinya perusahaan besar yang juga produsen beras premium, seperti PT Buyung Poetra Sembada, PT Padi Unggul Indonesia, PT Lumbung Padi Indonesia, PT Sumber Energi Pangan, dan PT Belitang Panen Raya.

Tempat pembelian beras beragam. Konsumen cenderung beralih dari pasar tradisional atau warung dekat rumah ke pasar modern. Ini terjadi selaras dengan perkembangan supermarket yang muncul di mana-mana. Sebagian besar (86%) konsumen membeli beras kemasan, sisanya (14%) berbentuk curah.

Konsumen kaya, masih merujuk riset itu, akan mengurangi jumlah beras yang dibeli apabila harga naik mencapai 22%. Atau berganti ke merek lain jika harga naik 16%. Konsumen berpendapatan rendah akan mengurangi jumlah pembelian bila harga beras baik 17%. Atau berganti merek bila harga naik 10%.

Pemerintah tersandera

Perubahan beras jadi menu favorit dan nomor satu itu telah menyandera pemerintah dalam posisi serba sulit. Sebab, tulis Khudori dalam 'Ironi Negeri Beras' (2008, halaman 117), "Prestasi itu membuat pemerintah, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menyediakan beras dalam jumlah cukup, baik di musim panen maupun paceklik, terdistribusi merata di seluruh pelosok negeri dan harganya terjangkau oleh kantong orang miskin sekalipun."

Masalahnya, tidak mudah untuk memenuhi itu semua. Pertanian padi diusahakan petani berlahan sempit. Merujuk Survei Pertanian Antar Sensus 2018, 9,8 juta (75%) dari 13,1 juta rumah tangga petani padi menguasai lahan kurang 0,5 hektare alias gurem.

Pola tanam padi tergantung pada cuaca dan iklim hingga membentuk ‘ritual’ panen ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60%-65% dari total produksi nasional), panen gadu (Juni- September dengan 25%-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).

Irama panen yang tak merata membuat harga naik-turun seperti roller coaster. Harga gabah/beras melorot saat panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik. Nasib petani miskin terombang-ambing di antara dua kutub itu.

Produksi padi, merujuk data BPS, terpusat di beberapa provinsi. Enam provinsi di Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta) pada 2018-2022 menyumbang 54% hingga 56% dari produksi beras nasional. Bahkan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat secara bersama kontribusinya mencapai 52%. Kondisi ini tak banyak berubah dari 20 tahun hingga 30 tahun lalu. Pada periode 1990-2001, 56% produksi padi disumbang Pulau Jawa.

Mengikuti irama panen, surplus produksi tidak terjadi setiap bulan. Dalam setahun surplus produksi hanya berlangsung selama 5-8 bulan. Sisanya, 4-7 bulan, tergolong paceklik. Sementara kebutuhan konsumsi ajek: 2,5-2,6 juta ton beras per bulan.

Di luar itu, merujuk data BPS, surplus produksi beras juga hanya terjadi pada 13-14 provinsi. Tiga provinsi dengan surplus terbesar adalah Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur. Masing-masing provinsi bisa menyumbang surplus lebih dari dua juta ton beras. Surplus lumayan besar juga disumbang Sumatera Selatan: sekitar 800 ribu ton beras per tahun.

Provinsi sisanya, seperti Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Jambi volume surplus hanya puluhan hingga 350-an ribu ton beras per tahun. Surplus ini tak lepas dari luas baku sawah di masing-masing provinsi.

Kondisi produksi padi seperti ini menuntut ada cadangan beras dalam jumlah cukup dan tersebar di seluruh wilayah. Ini, sekali lagi, untuk memastikan pasokan beras tidak terganggu dan dalam jumlah cukup ke seluruh wilayah. Terutama di wilayah konsumen. Sebab, merujuk 'Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan' (2021, halaman 63), tingkat partisipasi konsumsi penduduk terhadap beras hampir sempurna: 99,63%. Artinya, hampir semua warga Indonesia mengonsumsi beras.

Untuk mengelola cadangan, memastikan pasokan, dan distribusi beras itu pemerintah lewat Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog. BUMN Pangan ini tahun ini ditargetkan menyerap beras petani domestik 2,4 juta ton, yang di akhir tahun berbentuk stok sebesar 1,2 juta ton. Karena penyerapan gabah/beras rendah, Bulog ditugaskan mengimpor 2 juta ton beras hingga akhir 2023.

Yang penting praktik

Menurut Ali Khomsan, tidak perlu ada aturan njelimet untuk mendorong diversifikasi pangan. Bagi guru besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu, kunci keberhasilan diversifikasi pangan adalah membaiknya kesejahteraan warga. Warga yang pendapatannya naik akan mengurangi konsumsi nasi dan digantikan sumber protein, lemak, dan buah.

Peran pemimpin tak kalah penting. Ali dan tim meneliti masyarakat Kampung Cirendeu-Cimahi yang mengonsumsi beras singkong (rasi) sejak 1924. Kesimpulannya, penting peran budaya dalam mempromosikan pola pangan rasi sebagai pengganti beras.

"Pemimpin informal masyarakat Cirendeu memberi contoh langsung untuk tidak makan nasi dan menyosialisasikan alasan mengapa mereka lebih baik makan rasi. Pola makan nonberas pun bisa terus dipertahankan," tulis Ali.

Ia juga menyoal langkah pemerintah yang membagi-bagikan beras untuk orang miskin dengan harga murah. Akibatnya, masyarakat miskin tetap memilih beras dan tidak menghiraukan pangan sumber karbohidrat lain. Pangan alternatif kian tidak ditengok, tulis dia, karena jajaran Kementerian Pertanian kurang peduli terhadap pangan umbi-umbian misalnya.

Sosialisasi diversifikasi pangan, menurut Ali, bersifat hangat-hangat tahi ayam. Lomba menu nonberas biasanya digelar saat hari-hari terkait pangan, seperti Hari Gizi Nasional. Setelah lomba usai, tamat pula diversifikasi pangan. Lupa bahwa diversifikasi pangan, bagi Ali, adalah gerakan yang terus-menerus disuarakan dan dipraktikkan dalam pola makan bangsa.

Infografik Kecanduan Beras. Alinea.id/Catharina.

Di Jepang, tulis dia, anak-anak usia TK diperkenalkan dengan diversifikasi pangan melalui menu makan di sekolah. Tidak setiap hari nasi disajikan sebagai makanan di sekolah sehingga sejak usia dini tertanam di benak bangsa Jepang bahwa makan tidak berarti harus bersua nasi dan merasa kenyang dengan pangan lain.

"Melalui pendidikan sejak usia dini seperti di Jepang dan gerakan masyarakat melalui Tim Penggerak PKK diharapkan diversifikasi pangan kembali ke hakikatnya. Urusan makan nasi atau tidak makan nasi tidak perlu diatur pemerintah. Semakin banyak aturan, kian pintar pula bangsa kita mencari celah untuk melanggar. Kalau pemerintah melarang makan nasi, kita makan lontong," tulis Ali Khomsan.

Berita Lainnya
×
tekid