sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Patgulipat bisnis batu bara

Tiga permasalahan utama dalam pertambangan batu bara, yakni kongkalikong izin, penggelembungan produksi, dan kemudahan ekspor.

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Kamis, 20 Des 2018 21:14 WIB
Patgulipat bisnis batu bara

Pada Juli 2018 lalu, mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari divonis 10 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Rita pun diwajibkan membayar denda Rp600 juta subsider 6 bulan bui.

Rita terbukti menerima gratifikasi perizinan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, dengan nilai Rp110 miliar. Keluarga Rita dikenal menjadi gurita bisnis batu bara di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Dengan menerbitkan 625 izin ketika menjabat, Rita sempat mendapat julukan “Ratu Batu Bara.”

Bisnis pertambangan batu bara di Kalimantan memang ladang uang yang menggiurkan untuk kepala daerah, pengusaha, dan pejabat. Namun, bisnis ini menjadi persoalan yang seakan tak ada ujung. Persoalannya pun membentang dari hulu hingga hilir.

Setidaknya, ada tiga permasalahan utama dalam pertambangan batu bara, yakni kongkalikong izin, penggelembungan produksi, dan kemudahan ekspor.

Untung dari batu bara

Dalam hasil riset Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Auriga yang dipublikasikan dengan judul Coalruption; Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara disebut, di bagian hulu, target produksi batu bara jadi permainan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang.

Mulanya, pemerintah memiliki rencana untuk mengurangi produksi batu bara dari 419 juta ton pada 2016 menjadi 413 juta ton pada 2017. Lalu, akan berkurang menjadi 400 juta ton pada 2019.

Akan tetapi, realitanya, produksi batu bara selama 2017 mencapai 477 juta ton, jauh melampaui produksi pada 2016 yang mencapai 434 juta ton. Sebut laporan penelitian itu, dalam lingkungan seperti ini, banyak peluang politically-exposed persons (PEP) memanfaatkan lubang proses kebijakan guna melakukan korupsi dan penipuan.

Pada 2019, pemerintah malah berencana menambah kuota produksi batu bara jadi 530 juta ton. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak target penerimaan negara bukan pajak tahun depan (PNBP).

Pemerintah mematok target PNBP mineral dan batu bara dalam APBN 2019 sebesar Rp40 triliun. Target tersebut disusun dengan asumsi rata-rata harga batu bara acuan 2019, yang berada di level US$80 per ton. Sedangkan rata-rata harga batu bara Januari hingga November 2018 sebesar US$99,55 per ton. Nilai ini masih lebih tinggi ketimbang 2017, yakni US$85,92 per ton.

Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jonson Pakpahan baru-baru ini menyebut, target PNBP dan kuota produksi batu bara tersebut juga terkait dengan realisasi kebijakan pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO), minimal 25%. Produsen yang tidak memenuhi ketentuan itu akan dikenai sanksi berupa pemangkasan kuota produksi pada 2019.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, komposisi penerimaan minerba 2018 berasal dari royalti tambang, serta iuran tetap. Dia menyebut, pendapatan terbesar minerba berasal dari batu bara.

“Batu bara selain royalti ada pendapatan hasil tambang, besarnya 13,5% dari komposisi penerimaan minerba,” kata Bambang, dikutip dari situs Kementerian ESDM, Kamis (15/11).

Data dari Kementerian ESDM menyebutkan, realisasi produksi batu bara per November 2018 mencapai 441,853 juta ton atau 91% dari target tahun ini, yakni 485 juta ton. Realisasi DMO sebesar 100,37 juta ton atau 87% dari target tahun ini, sebesar 114 juta ton.

Penjualan batu bara dalam negeri sendiri terbagi atas sektor kelistrikan sebesar 82,3 juta ton dan industri lainnya sebanyak 18,07 juta ton.

Izin mudah, korupsi masalah

Laporan riset yang termuat di Coalruption menyebut, sejak 2001 korupsi juga telah mendorong kenaikan jumlah penerbitan izin usaha pertambangan hingga 13 kali. Hampir separuhnya dikeluarkan untuk pertambangan batu bara.

Tak bisa disangkal, proses desentralisasi pemerintah sejak 2001 sudah meningkatkan jumlah kasus korupsi, karena pemerintah kabupaten dan provinsi punya kuasa yang lebih besar atas pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.

Sebelum 1999, peraturan pertambangan dijalankan secara terpusat. Lalu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendelegasikan kewenangan itu ke pemerintah daerah, termasuk soal kelola izin pertambangan.

Selain itu, ada kemampuan bagi pemerintah daerah untuk menaikkan pendapatan daerah dengan memberlakukan jenis pajak baru, serta menerbitkan izin pertambangan dan ekspor baru. Dari tahun 2001 hingga 2010, jumlah perizinan naik dari 750 menjadi 10.000. 40% di antaranya merupakan izin pertambangan batu bara.

Mudahnya perizinan ini menjadikan ekspor batu bara ilegal naik menjadi 90 juta ton, dengan nilai sekitar US$5 miliar, setara Rp58 triliun, setiap tahun. Besarnya produksi dan kemudahan mengekspor batu bara, maka industri batu bara mengalami transformasi, dari pemain kecil menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia, dalam kurun waktu kurang dari tiga dekade.

Laporan riset Coalruption menyebut, beberapa elite politik masuk dalam pusaran bisnis batu bara. Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtera.

PT Toba Sejahtera mempunyai sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batu bara dan PLTU. Sejumlah politically-exposed persons (PEP) lainnya terkoneksi dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga Luhut, mantan menteri, pejabat tinggi, dan pensiunan jenderal.

“Elite nasional bersekongkol dengan elite daerah dalam bisnis batu bara. Ini merupakan lanskap baru, di mana desentralisasi membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih politis dan meningkatkan kekuasaan diskresi para pejabat daerah. Kedua hal ini mengingkatkan risiko terjadinya korupsi,” kata Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, seperti dikutip dari situs Greenpeace.org, Senin (17/12).

Namun, Luhut membantah hal itu. Dia berdalih, saham di PT Toba Sejahtera sudah dijual, kepemilikannya tinggal 10%. Menurutnya, saham itu sudah dimilikinya sebelum dia menjadi menteri.

Aktivis Greenpeace melakukan aksi membentangkan peringatan bahaya air beracun dibekas pengerukan tambang batu bara di Asam-Asam, Kalimantan Selatan. (greenpeace.org).

Negara rugi

Merujuk laporan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2013, terdapat Rp1,2 triliun kewajiban royalti pertambangan batu bara yang belum disetor ke negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menemukan fakta yang lebih mencengangkan lagi. Dalam kurun 10 tahun terakhir, ICW melaporkan total potensi kerugian negara yang berasal dari pajak dan PNBP yang belum dibayar senilai Rp133 triliun.

Sementara dalam Coalruption disebut, sektor pertambangan batu bara sudah menjadi

komoditas politik dan sumber pendanaan kampanye politik di Indonesia selama 20 tahun terakhir, baik di tingkat nasional maupun daerah. Adanya keterkaitan yang erat dengan kebijakan dan regulasi pemerintah, royalti, pajak, dan infrastruktur, menyebabkan sektor tambang di Kalimantan ini terpapar korupsi.

“Sektor batu bara sudah mendanai dan secara bersamaan mengotori politik dan demokrasi di Indonesia yang merugikan rakyat Indonesia,” ujar Tata Mustasya, seperti dikutip dari situs Greenpeace.org, Senin (17/12).

Sementara itu, dikutip dari situs Greenpeace.org, 17 Desember 2018, aktivis ICW Firdaus Ilyas mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang meningkatkan risiko korupsi di dalam setiap tahap proses pertambangan. Dia menyebut, kelemahan sistem pencegahan korupsi, serta aspek hukum secara keseluruhan mendegradasi kemampuan pemerintah dalam mendeteksi, mencegah, dan menghukum koruptor dengan efektif.

Selain itu, kata Firdaus, proses pengambilan keputusan yang sangat politis dan kekuasaan diskresi yang dipegang pejabat negara meningkatkan pula risiko terjadinya korupsi. Lalu, tata kelola di sektor pertambangan, sebut Firdaus, kerap tak punya pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas.

“Buruknya pengawasan, menjadikan penelolaan SDA (sumber daya alam) Indonesia, khususnya batu bara, rentan dikorupsi,” kata Firdaus.

Berita Lainnya
×
tekid