sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengembangan energi matahari: Kaya potensi, miskin dukungan

Target pengembangan PLTS mencapai 6000 MW pada tahun 2025, yang tersedia saat ini baru 145 MW.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Jumat, 31 Jul 2020 19:49 WIB
Pengembangan energi matahari: Kaya potensi, miskin dukungan

Seiring meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan, energi baru dan terbarukan (EBT) kian digandrungi oleh masyarakat. Salah satu produk EBT yang tengah naik daun adalah panel surya yang mampu mengonversi energi matahari menjadi listrik. Skala pengembangannya pun macam-macam, mulai dari pembangkit listrik raksasa hingga panel surya skala rumahan. 

Salah seorang pengguna yang merasakan manfaat sinar surya adalah Munir Ahmad (58). Sudah dua tahun terakhir keluarganya memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap berkapasitas 5.000 watt peak (Wp) di rumahnya. Alasannya memasang PLTS di atap rumah tak lepas dari imbauan Menteri ESDM. Sekretaris Direktorat Jenderal Kementerian ESDM ini juga ingin merasakan dampak pengembangan EBT ke depannya.

"Saya kira, ini sangat penting untuk kita,” ungkapnya dalam kanal Youtube “Info Gatrik”.

Ia mengklaim tagihan listriknya menurun Rp400 ribu – 500 ribu atau 25-30% tiap bulannya setelah memasang PLTS atap. Uniknya, Munir juga dapat memantau penggunaan listrik melalui ponsel pintarnya. “Biasanya siang hari terik begini 3 KW (listrik yang dihasilkan),” ujarnya seraya membacakan hasil pengukuran inverter PLTS pribadinya. 

Adapun Supriyanto (26) masih dalam tahap mencari panel surya untuk pabrik yang dikelola perusahaannya. Menurutnya, biaya listrik yang dikeluarkan pabriknya akan lebih murah jika menggunakan panel surya.

Manager sebuah perusahaan pengolahan hasil pertanian ini mengaku tertarik dengan sistem hybrid yang memadukan sistem panel surya dengan jaringan PLN. Sistem ini serupa dengan sistem on grid, namun memiliki baterai untuk menyimpan listrik. 

“Ini hitungan kalau kita bangun 8 KWh (Kilowatt-hour) setara dengan bayar Rp620 ribu per bulan selama 20 tahun. Rumah dengan kapasitas 8 KWh bayar listrik jutaan biasanya,” tuturnya melalui pesan singkat.

Semakin digandrungi

Sponsored

Nampaknya, pamor listrik berbasis energi surya tengah naik daun. Hal ini diakui oleh Vice President of Business Development ATW Solar Victor Samuel yang sudah empat tahun menggeluti bisnis distribusi dan instalasi panel surya.

“Kita tahun pertama baru berdiri tiga tahun lalu paling (memasang panel surya) 200-300 KW (Kilowatt). Tahun 2019, setelah tiga tahun berdiri kita sudah 4.000 KW. Tahun ini terus terang target kita 20 MW (20.000 KW), 5 kali lipatnya lagi. Karena Covid kita terkendala. Mudah-mudahan bisa ya,” ungkapnya ketika ditemui di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (28/7).

Victor melihat prospek panel surya masih cerah hingga 10-20 tahun ke depan. Apalagi, keunggulan energi surya adalah jenis EBT yang mampu dikembangkan dalam skala kecil.

Dia menjelaskan ATW Solar menyasar pelanggan residensial dan industri swasta sebagai segmen utama. Perusahaan ini juga menggarap pasar pusat perbelanjaan dan perkantoran. Pelanggannya telah tersebar di sejumlah kota besar dan kawasan industri di Pulau Jawa.

Mayoritas pelanggannya memesan sistem panel surya on-grid, sedangkan pihaknya baru meluncurkan sistem hybrid tahun ini. Untuk dapat bersaing dalam bisnis panel surya, perusahaannya juga melakukan sejumlah inovasi seperti pengembangan kanopi atap surya dan panel surya dengan bentuk melengkung. 

Victor mengklaim penggunaan panel surya mampu menghemat listrik secara signifikan. Dengan biaya investasi sekitar Rp40 juta, konsumen telah mendapat sistem panel surya berkapasitas 3 KWp (Killowatt-peak) dan hanya perlu membayar Rp600-700/KWh selama 25 tahun. Harga ini jauh lebih murah dari tarif listrik konsumen rumah tangga PLN non-subsidi yang berkisar antara Rp1.300-1.500/KWh.

“Yang pasti solar panel itu investasi yang aman dan menarik. Balik modal 6-7 tahun, tapi garansinya kan 25 tahun. Artinya setelah tahun ke 7, sudah listrik gratis selama 18 tahun. Sekarang tugas kami sebagai pelaku usaha bagaimana mengedukasi masyarakat dan memberi paket-paket menarik secara pembiayaan. Sebagai contoh kita masukin paket kami di Tokopedia,” jelasnya.

Penggunaan panel surya di atas Laguna Green House, Kudus, Jawa Tengah. Dokumentasi ATW Solar.

Sementara itu, Marketing Communication Manager Solarkita Raditya Arga berpendapat keuntungan utama penggunaan panel surya adalah mengurangi polusi udara dan suara yang selama ini dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga fosil. Selain menghemat tagihan PLN, kelebihan listrik yang dihasilkan bisa diekspor atau dijual kepada PLN. 

“Kalau di Jakarta kan empat jam bersinar optimal dari jam 11.00 – 14.00. Dalam waktu empat jam, kita bisa memanfaatkan sinar langsung melalui sinar matahari. Tiap hari selama empat jam enggak perlu keluarin uang untuk menggunakan listrik. Kalau gaya hidupnya hemat energi, ada kemungkinan 70% hemat listrik,” jelasnya pada Senin (26/7).

Solarkita melayani penjualan dan instalasi sistem panel surya yakni on-grid, yang hanya menghasilkan daya ketika jaringan daya utilitas PLN tersedia dan sistem off-grid, sistem mandiri atau tidak tersambung dengan PLN.

Perusahaan ini juga melayani sistem hybrid yang menggabungkan hasil listrik panel surya dan PLN. Sistem ini akan saling mendukung ketika terjadi kekurangan daya listrik atau pemadaman.

Radit memperkirakan pertumbuhan penjualan tahunan dapat mencapai 40% dalam kondisi normal. Namun sejak pandemi, beberapa proyek pemasangan tertunda. Imbasnya, omzet perusahaan pun ikut tergerus.

“Untuk memasang instalasi ini kita harus ketemu langsung. Orang-orang jadi takut ketemu segala macam. Dari kami sudah membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) bagaimana caranya kita menjaga kondisi orang-orang yang memasang. Kita pastikan sehat, steril, dan enggak membawa virus,” terangnya.

Radit mengatakan mayoritas pelanggannya berasal dari Jabodetabek dengan segmen konsumen residensial. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangun sistem panel surya berkapasitas 1 KWp sebesar Rp40 juta setelah dipotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan sudah termasuk biaya instalasi. Biaya tersebut dapat berubah sesuai kondisi lapangan. 

Untuk memudahkan konsumen, pihaknya menyediakan saluran pembayaran melalui e-commerce maupun cicilan kredit. “Kalau pasangnya di atas 20 KWp, per KW-nya bisa Rp20 juta. Itu kan sebenarnya biaya investasinya. Namanya investasi besar di awal,” katanya.

Meningkatnya permintaan panel surya juga diakui oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) Abdul Kholik. Dia menyatakan sebagian besar pesanan kesebelas perusahaan anggotanya berasal dari proyek pembangkit listrik pemerintah. Adapun pesanan pembangkit skala kecil dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan masyarakat juga terus meningkat.

“Potensi pasarnya besar. Sekarang kan tenaga surya sudah lebih kompetitif bagi konsumen dibandingkan listrik PLN sekalipun. Secara ekonomi orang sudah bakal mempertimbangkan. Kalau dulu kan orang pasang tenaga surya karena idealisme lingkungan,” tuturnya melalui sambungan telepon, Rabu (29/7).

Kholik mengklaim pertumbuhan tahunan selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar 30%. Namun, pertumbuhan tahun ini diprediksi melambat lantaran adanya pembatalan sejumlah proyek pemerintah akibat wabah Covid-19.

Potensi besar, realisasi minim

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), produksi PLTS telah mencapai 146,6 Mega Watt (MW) per kuartal I 2020. Oleh karena itu, pemerintah terus memacu pengembangan energi surya. 

Dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang diajukan PLN dan disetujui oleh Kementerian ESDM, sebanyak 804,9 MW listrik akan dihasilkan dari PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) pada 2025. Di tahun yang sama, pemerintah menargetkan bauran energi surya sebesar 23% dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN).

Realisasi produksi listrik yang ada masih jauh dibandingkan potensi energi surya yang dapat dikembangkan. Menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma, potensi energi surya di Indonesia menurut perhitungan kasar para ahli mencapai 300 Giga Watt (GW). Namun, angka tersebut masih belum melalui studi kelayakan. 

Surya menganggap pengembangan energi surya tergolong murah dibandingkan EBT lainnya. Energi surya juga selalu tersedia selama matahari masih terus menyinari bumi. 

“Kalau di kita masih jauh banget. Pemakaiannya baru sekitar 100 MW semuanya dan itu kalau dikumpulin yang kecil-kecil semuanya. Beda dengan China, di sana 115 GW  dalam 5 tahun. India dalam lima tahun nambah 75 GW. Kita masih jauh ketinggalan,” jelasnya kepada Alinea.id, Senin (27/7).

Menurutnya, pemerintah harus menjamin adanya kepastian pasar dan insentif bagi para pelaku energi surya agar berminat dalam mengembangkan PLTS. Surya melihat harga listrik berbasis EBT yang dipatok 85% dari biaya pokok produksi listrik PLN (Peraturan Menteri ESDM No.12/2017) masih belum memikat hati para investor.

“Sementara di EBT seperti matahari investasi sudah besar, tapi return-nya belum tentu. Jangan-jangan negatif. Kalau tidak dibeli dengan harga yang ekonomis bisa jadi negatif. Itu harus diatur oleh pemerintah agar menarik. Masalah lain di kita, daya mampu masyarakat terhadap energi masih rendah. Pemerintah harus memikirkan harga listrik yang dibeli masyarakat harus terjangkau,” tuturnya.

Pemerintah rombak regulasi

Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto melihat mahalnya biaya pengembangan menjadi tantangan bagi pengembangan listrik berbasis tenaga surya. Dia memaparkan harga panel surya di Indonesia sebesar US$1/Wp. Angka ini jauh berbeda dengan China yang harganya hanya US$0,2/Wp sampai US$0,3/Wp saja dengan kapasitas 500-1000 MW. 

“PLTS pabrikan-pabrikan kita baru pabrikan solar panel (panel surya). Solar panel itu juga kapasitasnya kecil-kecil sekitar 40 – 50 MW, paling besar 100 MW. Ini menyebabkan pabrikan solar panel ini bahan bakunya masih impor. Kita impornya ketengan, kemudian pengolahannya kecil-kecil, akibatnya harganya cukup tinggi,” terangnya dalam acara jumpa pers, Selasa (28/7).

Untuk meningkatkan bauran energi surya, pihaknya sedang mengembangkan PLTS berskala besar bersama PLN yaitu proyek pembangunan PLTS 200 MW di Sumatera Selatan, PLTS terapung di beberapa waduk sebesar 857 MW, serta pengembangan PLTS di area bekas lahan tambang sebesar 2.300 MW.

“Langkah kita melakukan restructuring dan refocusing program-program EBT. Utamanya adalah membangun kebijakan agar supaya EBT itu mempunyai level playing field (tingkat permainan). Jadi memiliki area kompetisi yang seimbang dengan energi fosil dan konvensional,” terangnya.

Oleh karena itu, pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden yang akan mengatur harga keekonomian EBT, pemberian insentif dan kompensasi, pengadaan proyek EBT, perjanjian jual beli listrik, serta dukungan kementerian/lembaga. Ia pun mengakui peraturan menteri yang selama ini ada masih belum mampu menarik minat investor.

Menurutnya, Perpres ini akan memberikan manfaat positif yaitu energi bersih dan terjangkau, keamanan energi karena harga keekonomian yang wajar, penciptaan nilai tambah ekonomi, mendorong investasi, serta mendorong industri dalam negeri.

Dalam beleid tersebut, terdapat tiga mekanisme penentuan harga EBT yaitu feed in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan. Kemudian, pemerintah akan memberi insentif fiskal dan perpajakan.

“Saya tidak bisa memastikan ini kapan terbit. Yang penting as soon as possible (sesegera mungkin). Perkembangan komunikasi dengan kementerian/lembaga terkait terus dilakukan. Kita harapkan akhir tahun selesai,” ungkapnya.  

Daya saing pabrikan dalam negeri

Victor Samuel mengakui sebagian besar panel surya yang dipasangnya diimpor dari luar negeri, terutama dari jenama Eropa. Dia beralasan harga panel surya pabrikan dalam negeri harganya lebih mahal dibandingkan panel surya impor

“Ini agak sensitif, tapi yang menilai bukan saya, tapi market. Begitu mereka melihat seperti itu, mereka agak ragu. Kalau lebih mahal dan garansi lebih pendek siapa yang mau beli? Ada yang garansi panjang, merek terkenal secara global, dan lebih murah itu yang dipilih,” terangnya.

Abdul Kholik yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Azet Surya Lestari juga mengakui harga panel surya dalam negeri lebih mahal 10-15% dibandingkan produk impor. Selain itu, pabrikan dalam negeri harus membayar bea impor 5% untuk mengimpor komponen bahan baku panel surya, sedangkan panel surya impor mendapat pembebasan bea impor.

“Kapasitas terpasang sekarang sekitar 500 MW. Tapi sekarang ini dari 500 banyak yang idle (menganggur). Paling yang berjalan 20-30% dari kapasitas terpasang. Kenapa demikian? Karena banyak produk impor yang dianggap melanggar aturan,” ungkapnya.

Kholik melihat pemerintah pusat maupun daerah kerap melanggar aturan TKDN (Total Komponen Dalam Negeri) sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian No.4/2017 dan Peraturan Menteri Perindustrian No.5/2017. Misalnya saja, total TKDN modul surya minimal sebesar 41%.

“Kami dari asosiasi sangat aktif mengingatkan beliau-beliau, kalau ada pelelangan yang tidak ada TDKN kami kirimkan surat. Dalam aturan TKDN kan ada penalti. Penegakan aturan belum dijalankan, sehingga orang merasa tidak terancam kalau tidak menggunakan TKDN. Padahal dalam Peratuan Kemenperin sangat jelas sanksinya dan lain-lain,” tegasnya.

Untuk meningkatkan daya saing panel surya lokal, Kholik mengusulkan adanya kolaborasi pembangunan pabrik panel surya antara BUMN dengan para pelaku swasta seperti yang diwacanakan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Selain itu, dia berharap adanya kolaborasi antar produsen untuk membeli komponen secara kolektif kala menggarap proyek bersama.

“Harga kita sekarang sudah mulai mendekati (impor) sih. Perbedaannya sudah kita perkecil. Kalau pemerintah tegas terhadap TKDN, kita semua bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga bisa bersaing dengan luar negeri,” ujarnya.

Sama halnya dengan PLTS, Surya Darma berpendapat kepastian pasar menjadi kunci bagi kemajuan industri panel surya dalam negeri. Menurutnya, mahalnya panel surya dalam negeri karena kapasitas produksi yang terbatas. Hal ini berbeda dengan China yang memiliki kapasitas produksi sangat besar, sehingga mampu mengekspor panel surya ke seluruh dunia dengan harga murah.

“Oke, kita pakai target KEN (Kebijakan Energi Nasional). Itu mustinya 6000 MW (PLTS) tahun 2025. Sekarang baru 145 MW, masih kecil banget. Ini tantangan besar. Kalau itu bisa 6000 MW dalam 5 tahun, ada jaminan prosuksi panel. Kita ada delapan produsen panel. Itu akhirnya kasihan juga. Agak beratlah hidup di kondisi begini,” pungkasnya.

 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid