sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perkembangan fintech, benarkah ancaman bagi perbankan?

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diprediksi terancam hilang dalam lima tahun mendatang akibat fintech.

Satriani Ariwulan
Satriani Ariwulan Rabu, 27 Des 2017 18:28 WIB
Perkembangan fintech, benarkah ancaman bagi perbankan?

Tren perkembangan ekonomi digital tengah terjadi di dunia. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah perilaku konsumen dan juga cara berbisnis. 

Gejala yang tak terhindarkan telah terjadi di tiap lini ekonomi. Ekonomi digital sepenuhnya mengacu kepada aktivitas ekonomi yang berbasis teknologi informasi. Saat ini, setengah dari populasi dunia sudah terhubung dalam jaringan internet. Sepertiga di antaranya memiliki akses media sosial yang terdiri dari berbagai usia. Internet seolah-olah telah menjadi bagian integral dalam keseharian masyarakat. 

Penerapan teknologi digital setidaknya sudah terjadi di sektor transportasi, ritel, hingga perbankan. Menurut The Economist, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan bisnis dalam ekosistem ekonomi digital sudah mencapai 30%. Tingkat pertumbuhan yang signifikan, melebihi tren pertumbuhan ekonomi konvensional. Diperkirakan pangsa ekonomi digital global telah mencapai US$ 3 triliun. 

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi digital. Buktinya, aktivitas digital penduduk Indonesia tercatat cukup tinggi terutama dalam belanja online. Menurut data We are social, penetrasi e-commerce di Indonesia berkisar 9% dari total populasi, dengan pangsa pasar mencapai US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 76 triliun pada 2016.

Indonesia menjadi pasar potensial bagi ekonomi digital. Faktanya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa, sekitar 51% diantaranya merupakan pengguna internet. Mayoritas diantaranya mengakses internet dari telepon seluler (ponsel). 

Kehadiran ponsel pintar memiliki peran fundamental dalam keseharian penduduk Indonesia. Tercatat, rata-rata empat jam setiap hari waktu yang dihabiskan untuk berselancar di dunia maya melalui ponsel, terutama terkoneksi dengan media sosial. Mereka kebanyakan adalah penduduk berusia muda. 

Menjamurnya perusahaan financial technology (fintech)

Sektor perbankan pun tidak luput dari transformasi digital yang mulai terjadi. Melansir laporan McKinsey Global Banking 2017, pergerakan digital yang terjadi di berbagai bidang, menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi industri perbankan. Bank mesti mengikuti pergerakan ekosistem ekonomi dunia yang dimotori digital dan data.

Sponsored

Setelah terhantam krisis finansial global, kali ini ancaman terhadap bank datang dari layanan jasa keuangan berbasis teknologi atau fintech. Pertumbuhan fintech memang tak main-main. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan saat ini terdapat 27 perusahaan Fintech peer to peer (P2P) lending yang terdaftar dan memiliki izin di OJK. Serta , sekitar 32 perusahaan dalam proses pendaftaran. Total pembiayaan bisnis Fintech ini telah mencapai Rp2,26 triliun di akhir November 2017 atau naik 811,15% dibandingkan akhir Desember 2016 lalu. (lihat infografis) Sedangkan jumlah peminjam mencapai 290.335 peminjam. Angka yang fantastis kan?

Sebelum lebih jauh lagi, sebagai salah satu langkah dalam mengakrabkan diri dengan fintech, Bank Indonesia (BI) mengklasifikasikan mereka ke dalam empat kelompok. Yang pertama adalah crowdfunding dan P2P lending. Jika dianalogikan sebagai e-commerce, klasifikasi pertama ini adalah marketplace. Tapi di sini marketplace khusus finansial, yang mempertemukan pencari modal dan investor.

P2P lending sebenarnya punya faedah besar karena memiliki akses untuk menyalurkan dana kepada masyarakat terutama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Lebih penting lagi pinjaman bisa disalurkan kepada mereka yang belum tersentuh oleh rekening bank. Perlu diketahui masyarakat yang belum punya rekening di bank terbilang masih sangat banyak di Indonesia. Dengan adanya fintech di sektor ini, mereka berhasil menyelesaikan masalah yang mungkin tidak bisa dijangkau perbankan konvensional.

Kedua adalah market aggregator. Misalnya seperti Cekaja.com, yang memiliki kemampuan mengumpulkan dan mengoleksi data finansial untuk disajikan kepada pengguna. Semisal seseorang ingin membuat kartu kredit, cukup masukan data finansial pribadi mereka. Nanti si platform akan mencocokan dan memperlihatkan kartu kredit mana yang cocok untuknya, berdasarkan data diinput.

Ketiga adalah risk and investment management. Konsepnya adalah seperti financial planner namun berbentuk digital. Pengguna akan diarahkan produk investasi mana yang cocok untuknya sesuai preferensi diberikan. Terakhir ada di bidang payment, settlement, dan clearing. Fintech di sini bergerak di bidang pembayaran seperti e-wallet dan payment getaway.

Dari keempat bidang itu, crowdfunding dan P2P lending masuk dalam pengawasan OJK. Sementara payment, settlement, dan clearing masuk dalam ranah BI. Alasannya jika sudah masuk ke proses bayar membayar, ada perputaran uang, BI-lah yang bertanggungjawab. Sementara dua lagi akan masuk ke ranah BI jika di sana mereka memberlakukan sistem pembayaran.

BPR Terancam Hilang

Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan fintech akan mengancam perbankan bermodal cekak. Bahkan, Lana bilang, perbankan seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) akan hilang dalam lima tahun mendatang akibat adanya fintech. Catatan Alinea, terdapat sembilan BPR yang tutup sepanjang 2017 ini. (baca: Kiprah BPR, kurang modal dan bertumbangan)

"BPR kesulitan modal. Sumber pendanaan juga sulit, tidak cukup untuk membiayai kredit," tutur Lana membeberkan alasan tumbangnya BPR. 

Selain itu, sumber pendanaan BPR berasal dari dana mahal. BPR membagikan suku bunga deposito tinggi kepada nasabah, namun kemudian membebankan suku bunga kredit yang mencekik kepada debitur. Kualitas kredit juga menjadi turun dan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) meningkat. Akibatnya, keuntungan BPR kian tipis. 

Sebaliknya, fintech justru kebanjiran sumber pendanaan. Mereka menarik dana dengan iming-iming suku bunga tinggi mencapai 20% atau di atas deposito. Dana yang harus disetor juga tak harus dalam jumlah besar seperti layaknya deposito di perbankan. Kata Lana, nasabah dapat menikmati suku bunga tersebut dengan dana sekitar Rp 1 juta. Dana itu juga dapat diambil kapan saja, tidak seperti deposito yang memiliki jangka waktu.

"Fintech ini berbahaya bagi perbankan, tak hanya bagi BPR namun juga bank konvensional," imbuh Lana. 

Siapkan Regulasi

Sayangnya, menurut Lana, hingga kini tak ada data yang menunjukkan jumlah dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun oleh fintech. "Diperlukan regulasi yang jelas untuk mengatur fintech," kata dia. 

OJK menyadari hadirnya fintech yang berkembang cepat merupakan salah satu tantangan di industri jasa keuangan. Fintech memerlukan kebijakan yang cepat dan tepat dari regulator. Untuk menghadapi tantangan itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengaku telah menyusun rancangan peraturan OJK (RPOJK) mengenai inovasi keuangan digital. Aturan ini rencananya akan diterbitkan pada triwulan pertama 2018.

Selain itu, OJK juga akan menyusun roadmap fintech OJK untuk lima tahun ke depan yang akan menjadi acuan dalam pengembangan, pengaturan dan pengawasan fintech. "Kami juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional yang akan melakukan fungsi koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan Fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan juga perlindungan konsumen," papar Wimboh.

Perbankan juga mulai mewaspadai tantangan perkembangan fintech. Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna mengatakan perkembangan fintech, hingga perubahan tren permintaan pasar dan regulasi membuat harus memilih antara beradaptasi atau kehilangan pangsa pasar. Adaptasi terutama diperlukan dalam penerapan teknologi pintar yang berbasis digital. 

"Perbankan dituntut untuk memodifikasi model bisnis dengan mengedepankan penerapan teknologi digital.  Ini tentunya hasil kolaborasi dengan bisnis model yang diterapkan fintech yang cenderung lincah dan inovatif," kata Paulus. 

Oleh karena itu, Bank DBS Indonesia baru-baru ini meluncurkan layanan perbankan berbasis ponsel pintar pada Agustus lalu. Menurut Paulus, dengan layanan yang disebut digibank tersebut, perusahaan ingin lebih mendekatkan diri dengan pengalaman konsumen yang semakin dinamis. 

“Kami menyaksikan perubahan perilaku konsumen dan masyarakat menginginkan cara bertransaksi di bank yang mudah, cepat dan praktis,” kata Paulus. 

Paulus mengklaim layanan itu memiliki fitur andalan seperti kecerdasan buatan dan machine learning. DBS menyasar generasi milenial yang mengedepankan kebebasan dan keamanan. DBS menganggap anak muda telah menjadi konsumen utama ekonomi digital. Saat ini, mereka yang lahir pasca-1980 atau yang sering disebut sebagai generasi milenial, yang menentukan arah pasar ke depan.

Berita Lainnya
×
tekid