sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rilis CIPP JETP, pemerintah serius lakukan transisi energi?

Pelaksanaan JETP melibatkan IPG, yang dipimpin AS dan Jepang dan beranggotakan beberapa negara Eropa.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Rabu, 22 Nov 2023 15:23 WIB
Rilis CIPP JETP, pemerintah serius lakukan transisi energi?

Pemerintah meluncurkan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP), Selasa (21/11). Penerbitan dokumen tersebut diklaim sebagai peta jalan pengembangan transisi energi di Indonesia bagi pemerintah dan mitra.

"Dokumen CIPP ini memberikan peta jalan strategis bagi transisi energi ambisius di Indonesia dengan mempertimbangkan tantangan-tantangan yang mencakup bidang teknis, keuangan, dan tentu keadilan sosial," tutur Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ad interim, Erick Thohir.

Ia melanjutkan, dokumen CIPP JET disusun berdasarkan hasil diskusi dengan berbagai pihak. Utamanya dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group pasca-COP-26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021 serta organisasi internasional dan nasional.

"Tujuannya, tidak lain untuk melaksanakan komitmen dekarbonisasi yang ambisius serta pembangunan ekonomi yang kuat dan mapan. Komitmen ini selaras dengan blue print nasional kita, yaitu visi Indonesia Emas 2045, di mana di dalamnya menguraikan sejumlah target untuk kepentingan nasional Indonesia maupun kepentingan global, terutama untuk membuka akses energi bersih yang inklusif agar mampu meningkatkan kualitas SDM, mendorong pertumbuhan ekonomi, hingga mengentaskan kemiskinan," urainya.

Menurut Erick, diperlukan tindak lanjut serta upaya yang kuat dari semua pihak guna mewujudkan visi tersebut. Ia melanjutkan, ada beberapa tahapan transisi energi dalam CIPP JETP.

"Pertama-tama, Indonesia mengupayakan pengembangan energi terbarukan untuk melakukan dekarbonisasi ketenagalistrikan dan industri, termasuk membangun rantai pasok teknologi energi terbarukan agar industri dalam negeri dapat terbangun dengan kuat," katanya, menukil laman Kemenko Marves.

Kedua, mendorong industrialisasi hijau. Misalnya, pembangunan kawasan industri berbasis ekonomi hijau yang didukung sumber energi hijau, termasuk optimalisasi potensi mineral kritis melalui hilirisasi.

"Terakhir, Indonesia sudah menggiatkan elektrifikasi sektor-sektor kunci, seperti transportasi dalam upaya untuk menekan intensitas emisi sekaligus mewujudkan industri dan lapangan kerja baru bagi perekonomian masa depan Indonesia," ucapnya.

Sponsored

"Tentunya kami berharap bahwa JETP dapat menguatkan langkah-langkah tersebut melalui pelaksanaan proyek-proyek prioritas sebagaimana sudah tertuang dalam dokumen CIPP ini," imbuh Erick.

Ada beberapa target yang dicanangkan dalam CIPP JETP. Salah satunya adalah menekan gas rumah kaca (GRK) hingga 250 juta ton CO2 dan meningkatkan bauran energi sampai 44% pada 2030.

"Kita semua harus bergerak cepat dan tepat karena tahun 2030 kurang dari 7 tahun lagi. Untuk itu, kerja sama perlu ditingkatkan dan diakselerasi untuk melaksanakan proyek-proyek prioritas yang sudah disepakati, termasuk untuk dapat segera mewujudkan komitmen pendanaan yang sudah tercantum dalam dokumen ini," serunya.

"Mari kita jadikan ini pijakan untuk bersama-sama mengimplementasikan dan berkomitmen demi dunia lebih baik, dunia yang bersahabat, dan terus mempertahankan kemanusiaan yang lebih beradab," sambung Erick.

Setengah hati

Dokumen CIPP JETP itu dikritisi koalisi organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO). Sebab, dinilai setengah hati pada upaya transisi energi berkeadilan karena minimnya target pensiun dini PLTU sehingga berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia menjadi lebih hijau dan ambisius.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mencontohkan dengan sedikitnya pembangkit listrik berbasis batu bara, yakni PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon, yang masuk daftar pensiun ini. Padahalm target bauran energi terbarukan mencapai 44%.

"Sebagian PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema ETM (energy transition mechanism). Jadi, seolah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara. JETP menjadi tidak jelas: awalnya mau pensiun PLTU batu bara, justru tidak dilakukan dengan serius," terangnya.

Inkonsistensi transisi energi juga tecermin dalam kebijakan sebelumnya. Mulanya, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23% pada 2023 dan 31% pada 2050 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2014, tetapi justru memulai Program 35 Gigawatt (GW), yang mayoritas adalah PLTU batu bara, pada saat bersamaan. Akibatnya, ruang pengembangan energi terbarukan tergerus dan target bauran energi hijau tak terealisasi.

"Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023 dan masih terus bertambah. Hal ini akan menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia seperti sebelumnya. Meski target CIPP tercapai 100%, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar," urai Direktur Program Transisi Bersih, Harryadin Mahardika.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menambahkan, dokumen CIPP masih kompromistis dan jauh dari trayektori menahan kenaikan suhu 1,5 derajat celcius. Apalagi, pensiun dini PLTU 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP bakal mengganjal skenario menuju net zero emission (NZE).

"Belum lagi kalau kita bicara tentang rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Juga berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET. Semuanya itu berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan. Saya khawatir JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan, atau bahkan menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, perwakilan Arise! Indonesia, Dian Sunardi, kecewa dengan usulan teknologi solusi palsu dalam dokumen CIPP, seperti co-firing biomassa. Alasannya, takkan efektif dalam mengurangi emisi. Justru memperkaya segelintir oligarki karena mempromosikan privatisasi dan komodifikasi sumber daya ekologis serta membebaskan korporasi yang berkontribusi terhadap krisis iklim (polluters) dari tanggung jawabnya.

"[Solusi palsu] malah akan memperparah krisis iklim dan merusak masa depan transisi energi Indonesia. Indonesia harus mengambil sikap tegas, menyatakan tidak pada solusi palsu dan mengeluarkannya dari CIPP," tegasnya.

Koalisi CSO juga mempersoalkan porsi utang dan hibah dalam dana JETP. Bhima menilai, pendanaan dari negara maju (International Partners Group/IPG), khususnya Amerika Serikat (AS), tidak menjunjung prinsip berkeadilan karena jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar sehingga Indonesia harus menanggung pinjaman dengan bunga pasar.

"Apa fungsinya menunggu dokumen CIPP JETP dirilis kalau kesepakatan dengan negara maju hanya biasa saja, masih pinjaman yang sifatnya business as usual?" tanya dia. IPG dipimpin AS-Jepang dan beranggotakan Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norwegia, Prancis, dan Uni Eropa.

Bhima juga mempertanyakan absennya berbagai reformasi kebijakan fiskal dan moneter untuk segera diimplementasikan. "Segi perpajakan juga tidak tersentuh, maka JETP ini justru menunjukkan silo-silo pembahasan yang belum komprehensif."

Menurut Koordinator Perkumpulan AEER, Pius Ginting, Sekretariat JETP dan pemerintah mesti berjuang meningkatkan porsi hibah dalam pendanaan JETP. Dicontohkannya dengan Jepang selaku anggota IPG yang perlu meningkatkan tanggung jawab pendanaan melalui hibah karena turut berinvestasi PLTU di Indonesia, sebagai pasar ekspor batu bara, dan berkontribusi pada emisi sektor transportasi.

"Sikap yang lebih baik diberikan oleh Jerman dengan mengalokasikan US$167 juta dalam bentuk hibah atau technical assistance atau 10% dari jumlah pendanaan publik oleh Jerman. Porsi jumlah hibah ini juga seharusnya menjadi acuan bagi negara IPG lainnya sebagai pelaksanaan dari prinsip common but differentiated responsibility," tuturnya.

Memihak masyarakat

Sementara itu, Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani, mendorong pengawalan terhadap pelaksanaan CIPP agar menjadi rekomendasi bagi Satuan Tugas (Satgas) Transisi Energi Nasional. Ini bisa dilakukan dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, partisipasi publik, dan pelibatan pemerintah daerah (pemda) dalam mengelola transisi energi berkeadilan melalui pemetaan kebijakan hingga ke daerah. Penerapan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) pun mesti menjadi landasan sehingga mengakomodasi kelompok rentan dan komunitas terdampak.

Ia mengakui bahwa dokumen CIPP mencatumkamkan dampak transisi energi, seperti terciptanya pekerjaan hijau (green jobs) dan potensi lapangan kerja yang hilang, serta langkah mitigasinya. Karenanya, Verena mendorong peningkatan kapasitas pekerja agar tetap dapat terserap di ekosistem energi terbarukan serta meminta pengembangan sektor industri lain guna menekan naiknya pengangguran baru.

Adapun Indonesia Team Lead 350.org, Sisilia Nurmala Dewi, mengkritisi dokumen CIPP JETP hanya yang fokus pada pengembangan energi terbaruka skala besar. Akibatnya, program berbasis masyarakat terabaikan sehingga menyalahi prinsip utama transisi berkeadilan, leave no one behind.

"Dokumen CIPP masih melihat masyarakat hanya sebagai konsumen bukan sebagai warga negara yang bisa berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan. Padahal, sebagai sebuah negara kepulauan dengan penduduk yang sangat tersebar dan potensi energi terbarukan melimpah, desentralisasi energi merupakan strategi penting mencapai kemandirian energi komunitas dan memperkuat ketahanan energi nasional," jelasnya.

Berita Lainnya
×
tekid