sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

THR Lebaran seret di tengah pagebluk, bagaimana mengelolanya?

Di tengah pagebluk Covid-19, sejumlah pekerja tak kunjung mendapat THR jelang Lebaran.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Kamis, 21 Mei 2020 08:17 WIB
THR Lebaran seret di tengah pagebluk, bagaimana mengelolanya?

Laju penyebaran virus corona baru (Covid-19) masih belum usai. Pembatasan dan karantina di pelbagai wilayah menyebabkan terhambatnya pergerakan manusia, barang, dan jasa. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami perlambatan, tak terkecuali Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia (year on year) melemah dari 4,97% pada kuartal IV 2019 menjadi 2,97% pada kuartal I 2020. Pertumbuhan tersebut juga jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni 5,07%. 

Kondisi ini berimbas pada kondisi keuangan para pengusaha, baik kecil maupun besar semua mengalami guncangan. Sebagian perusahaan masih mampu membayar Tunjangan Hari Raya (THR) para pekerjanya. Sebagian lainnya mengalami kesulitan dalam menggaji para karyawannya, apalagi membayar THR.

Menyikapi hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 yang memungkinkan penundaan dan pencicilan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), asal disepakati melalui ‘dialog’ antara pengusaha dengan para buruh. 

Namun, dia menekankan sesulit apapun kondisi keuangan perusahaan, pembayaran THR karyawan tetap wajib dilakukan. Penundaan atau cicilan pembayaran THR juga tak boleh lewat dari tahun 2020.

Pekerja menunjukkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran yang diterimanya di pabrik rokok PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (12/5/2020). Sebanyak 48.118 pekerja rokok menerima uang THR lebaran guna membantu pekerja dalam memenuhi kebutuhan keluarga selama bulan Ramadhan dan hari Lebaran. Foto Antara/Yusuf Nugroho/foc.

Perusahaan tempat Supianto (28) bekerja adalah salah satu yang menerapkan beleid tersebut. Hingga kini dia belum mendapat kepastian mengenai pembayaran THR Idul Fitri yang seyogyanya menjadi haknya.

“Biasanya agak telat. Kalaupun tahun ini enggak dapet, enggak apa-apa deh yang penting rezeki lancar,” ujar wartawan media daring tersebut kepada Alinea.id.
 
Meskipun demikian, dia dan istrinya telah menganggarkan kebutuhan mereka dari gaji bulanan Supi yang masih rutin dibayarkan. Kebutuhan pangan dan pengeluaran rutin seperti membayar kontrakan dan langganan internet menjadi prioritas keduanya. 

Sponsored

Bahkan, mereka sudah menyisihkan uang untuk membeli baju lebaran. “Kalau gaji Alhamdulillah mencukupi dan bisa lah dikit-dikit ditabung,” ungkapnya  beberapa waktu yang lalu.

Selama pagebluk corona, pasangan muda ini melakukan penghematan dengan mengurangi jajan dan rekreasi di luar rumah dari yang biasanya tujuh kali dalam sebulan menjadi dua kali saja. 

“Bayangin kalau kita ngopi lumayan satu gelas Rp25 ribu. Makan bakso semangkok Rp12-13 ribu. Jajan Indomaret minuman kemasan kayak gitu rata-rata Rp9-10 ribu. Enggak terasa sih. Beruntungnya tahun ini banyak enggak keluar, beli bensinnya hemat,” tutur warga Jakarta Selatan tersebut.

Supi mengaku dirinya belum berani mengajukan cicilan kredit lantaran risiko pokok dan bunga yang akan ditanggungnya. Keputusan tersebut memungkinkan dirinya untuk mampu menyisihkan separuh pendapatannya untuk tabungan dan keperluan non-rutin lainnya.

Jika uang THR-nya cair, Supi berencana menyisihkannya untuk menunaikan zakat dan sedekah serta menabung untuk masa depan. “Aku masih berdua. Ini lagi proses, Insya Allah. (Istri) Sudah hamil lima bulan nih,” ujarnya.
 
Kini, dia berada kampung halaman sang istri yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah. Hal ini dilakukan Supi lantaran adanya kebijakan bekerja dari rumah. Dia berencana untuk berkebun demi menambah penghasilannya.

“Di sini orang mulai lagi tanam tembakau. Kalau mertua di sini sudah tanam jagung, usianya sudah sebulan lebih. Makanya repot banget ini kalau sampai kantor kena (gulung tikar) juga,” kesahnya.

Pagebluk mengubah perilaku finansial masyarakat

Memang, dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 telah mengubah perilaku masyarakat, termasuk saat Ramadan dan Idul Fitri. Sejauh mana perilaku masyarakat dalam mengelola keuangannya berubah?

Hasil survei Indonesian Digital Savvy Behavior During Ramadan 2020 terhadap 468 nasabah Jenius BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional) menunjukkan 94% responden merasakan perubahan kebiasaan selama Ramadan tahun ini. Perubahan tersebut meliputi menjalani ritual Ramadan di rumah (66%), membatalkan rencana bersama keluarga dan teman (23%), dampak ekonomi (8%), dan tidak keluar rumah (4%). 

Kemudian, lima kegiatan finansial paling sering dilakukan selama Ramadan kali ini adalah menabung (76%), berbelanja online (71%), membayar tagihan (69%), membeli makanan dengan layanan pesan antar (55%), dan top up e-Wallet (52%) .

“Aktivitas finansial yang sering dilakuan selama Ramadan yang pasti kita tahu adalah menabung karena kita jarang keluar rumah seperti kumpul-kumpul dan makan di luar, sehingga aktivitas menabung lebih banyak dilakukan,” ungkap Digital Banking Head Bank BTPN Irwan Tisnabudi dalam konferensi pers, Kamis (14/5).

Dia memaparkan alasan responden makin giat menabung adalah berkurangnya pengeluaran (56%), antisipasi risiko krisis akibat pandemi (29%), dan momentum yang tepat untuk menabung (15%).

Kemudian, sebanyak 91% responden tidak melakukan mudik pada tahun ini. Diantara responden tersebut, sebesar 51% melakukan video call dengan keluarga dan kerabat, 42% menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, dan 5% mengunjungi tetangga terdekat.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga semakin melek dalam mengelola uangnya dan semakin mudah mendapatkan akses ke lembaga keuangan. Terbukti dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap tiga tahun sekali.

Indeks literasi keuangan nasional meningkat dari 21,84% pada 2013 menjadi 38,03% pada 2019. Adapun indeks inklusi keuangan nasional meningkat dari 59,74% pada 2013 menjadi 76,19% pada 2019.

 

Realokasi keuangan menjadi kunci

Suasana hari raya di tengah pandemi juga pasti mengubah kebiasaan masyarakat sebagaimana survei Jenius BTPN. Imbasnya, perencanaan keuangan pun perlu berubah menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Pendiri OneShildt Financial Planning Risza Bambang berpendapat pemberian THR atau bonus pegawai seolah menjadi durian runtuh saat ini. Namun dia menyarankan masyarakat untuk tetap mengikuti proporsi alokasi keuangan 50:30:10:10, yakni 50% biaya hidup, 30% cicilan, 10% investasi, dan 10% proteksi diri/keluarga. 

Pada masa normal, komponen biaya hidup jelang Lebaran bisa saja mengalami pembengkakan karena meningkatnya pengeluaran untuk jajan, belanja pakaian, dan mudik ke kampung halaman. 

“Tahun ini harusnya anomali. Kita kan enggak boleh mudik, ada PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Ada keputusan gubernur tidak boleh keluar Jabodetabek. Seharusnya, 50% (alokasi biaya hidup) ini dipakai orang-orang untuk melunasi atau mengurangi utang yang dimiliki,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Senin (18/5).

Bambang beralasan, kondisi pandemi menyebabkan ketidakpastian. Bisa saja seorang karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), musibah, atau menjadi korban kerusuhan sosial, sehingga kesulitan dalam melunasi utang-utangnya.

Apabila tak mempunyai cicilan, dana sisa bisa dialihkan untuk berinvestasi pada instrumen yang imbal hasilnya di atas nilai inflasi. Dana investasi tersebut bisa menjadi pengaman kebutuhan hidup di tengah krisis maupun dana pensiun di hari tua.

Bagi pekerja yang belum mendapatkan THR, dia menyarankan untuk memprioritaskan pos biaya rutin seperti makanan, cicilan kredit, tagihan listrik, dan sebagainya. Selain itu, penghematan listrik, bahan bakar, transportasi, jajan, dan rokok juga penting.

“Semua biaya itu coba di-list dan ditulis di kertas. Ibaratnya itu ketahanan keuangan kita. Dalam arti begini, kalau kita amit-amit harus di PHK, maka uang atau aset yang kita punya bisa menanggung hidup kita sampai berapa lama?” terang Chief Executive Officer (CEO) Padma Radya Aktuaria tersebut.

Bambang menambahkan ketahanan tersebut dapat diukur dari total aset likuid dibagi dengan pengeluaran bulanan, sehingga dapat diketahui berapa lama seseorang mampu bertahan dengan aset-asetnya. 

“Terus kemudian aset-aset yang tidak terpakai kalau bisa diuangkan, meskipun tidak mudah. Kalau bisa mobil dan motor dijual dibawah harga pasar dalam kondisi sekarang. Sekarang pegang uang adalah raja, cash is the king. Punya perhiasan mau dipakai kapan sih? Itu kan bisa lebih cepat dijual,” jelasnya. 

 

Sementara itu, Certified Financial Planner Metta Anggriani mengatakan pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan finansial sebanyak 180 derajat dari yang sebelumnya konsumtif menjadi fokus untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kesehatan, sehingga lebih banyak uang yang bisa ditabung.

Berbeda dengan Bambang, Metta menyarankan alokasi penggunaan uang mengikuti formula 50:30:20, yakni 50% kebutuhan dasar, 30% keinginan, dan 20% menabung atau investasi. Menurutnya, implementasinya bergantung pada kondisi masing-masing orang.

“Menabung menjadi krusial pada masa pandemi ini karena ketidakpastian ekonomi selama beberapa bulan ke depan membuat kita wajib menjaga likuiditas finansial untuk dapat bertahan hidup,” jelasnya dalam webinar pekan lalu. 

Menurutnya, uang THR yang didapat seyogyanya ditabung untuk mengantisipasi risiko yang mungkin dihadapi lantaran perannya sebagai dana darurat. 

Dia menjelaskan jumlah minimal dana darurat yang perlu disiapkan adalah sebesar tiga kali pengeluaran bulanan untuk lajang, enam kali pengeluaran bulanan untuk pasangan suami-istri, dan dua belas kali pengeluaran bulanan apabila sudah memiliki banyak tanggungan (anak dan/atau pegawai bagi wirausaha).

“Kan enggak mungkin ujug-ujug langsung ada. Enggak apa-apa dicicil sedikit demi sedikit, artinya kita tahu. Kita pisahkan rekening dana darurat dengan rekening operasional,” jelasnya.

Dana darurat ini bisa digunakan apabila terjadi PHK, musibah, atau kematian. Selain itu, dana darurat juga dapat berbentuk instrumen investasi yang konservatif seperti deposito atau emas. Dua instrumen tersebut memiliki resiko yang relatif rendah dan mampu mempertahankan nilai uang terhadap inflasi. 

Dia juga menekankan untuk menghindari utang di tengah kondisi pagebluk, terutama yang bersifat konsumtif. Apabila harus berutang, sebisa mungkin porsi cicilan utang tak melebihi 30% dari penghasilan.

“Bagaimana caranya menerima kondisi keuangan kita? Caranya adalah melakukan financial check up yaitu berapa penghasilan, pengeluaran, dan utang-utang kita? Otomatis kita bisa mensyukuri apa yang kita punya dan terus berikhtiar menjadi lebih baik,” tutupnya.

Di masa pandemi, pola perencanaan keuangan mengalami perubahan. Alinea.id. Oky Diaz.

Berita Lainnya
×
tekid