sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PBB: Covid-19 dengan cepat jadi krisis HAM

PBB mendesak tindakan darurat diterapkan secara legal, proporsional, tidak diskriminatif, dan memiliki batas waktu spesifik.

Valerie Dante
Valerie Dante Jumat, 24 Apr 2020 15:57 WIB
PBB: Covid-19 dengan cepat jadi krisis HAM

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa pandemik coronavirus jenis baru tidak boleh digunakan sebagai dalih bagi negara-negara otoriter untuk menginjak-injak hak asasi manusia atau menghambat kebebasan aliran informasi.

"Dengan meningkatnya populisme, otoritarianisme, dan tekanan terhadap HAM di beberapa negara, krisis Covid-19 dapat memberikan dalih untuk mengambil tindakan represif yang tidak terkait dengan pandemik," jelas dia.

Pernyataan tersebut Guterres sampaikan saat merilis laporan PBB terkait Covid-19 dan HAM pada Kamis (23/4).

Dia menilai, apa yang dimulai sebagai darurat kesehatan masyarakat dengan cepat berubah menjadi krisis HAM.

Guterres telah menyerukan gencatan senjata global dan memperingatkan ada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat dari larangan keluar rumah akibat Covid-19.

"Dalam komunitas tertentu, Covid-19 memicu peningkatan ujaran kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan respons keamanan yang berlebihan," tutur Guterres.

Laporan PBB menyoroti penggunaan frasa seperti "foreigner's disease" untuk menggambarkan Covid-19, menyebut bahwa pernyataan seperti itu dapat memicu diskriminasi, xenofobia, dan rasialisme.

Guterres mendesak tindakan darurat apa pun untuk diterapkan secara legal, proporsional, tidak diskriminatif, dan memiliki batas waktu atau durasi yang spesifik.

Sponsored

Dia mengakui bahwa kebebasan bergerak perlu dibatasi, tetapi skala pembatasan dapat secara bertahap dilonggarkan dengan pengujian yang efektif dan tindakan karantina.

Laporan PBB menunjukkan bahwa kerap kali, dengan menggunakan dalih berita palsu, wartawan, petugas kesehatan, aktivis, atau oposisi politik ditangkap. Pengawasan daring dan kebijakan siber yang agresif juga dilaporkan terus meningkat.

"Upaya menghilangkan disinformasi dapat memicu sensor ketat yang justru merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah," jelas laporan PBB.

Menanggapi persoalan tersebut, Guterres menilai bahwa solusi terbaiknya adalah agar pemerintah bersikap terbuka dan transparan tentang upaya mereka mengekang pergerakan virus. (The Guardian dan TIME)

Berita Lainnya
×
tekid