Twitter akan melarang seluruh iklan politik di platformnya. Larangan mulai diberlakukan pada 22 November dengan rincian lengkap yang akan dirilis pada 15 November.
"Meski periklanan internet sangat kuat dan efektif bagi pengiklan komersial, kuasa seperti itu membawa risiko yang signifikan bagi politik," twit CEO Twitter Jack Dorsey pada Rabu (30/10).
Dorsey menjelaskan keputusan perusahaannya lewat sebuah utas di Twitter. Iklan politik internet, kata dia, melahirkan tantangan yang baru bagi diskursus publik.
Tantangan-tantangan itu termasuk optimalisasi olah pesan berbasis pembelajaran mesin, micro-targeting, informasi menyesatkan tanpa verifikasi dan tipuan.
"Hal ini tidak kredibel. Itu seperti kami mengatakan, 'Kami sedang bekerja keras untuk menghentikan orang-orang mempermainkan sistem kami dan menyebarkan informasi sesat, tetapi kami akan membiarkan orang membayar kami untuk memaksa publik melihat iklan politik mereka," jelas dia.
Menanggapi argumen bahwa kebijakan baru itu akan merugikan para pemimpin yang berkuasa, Dorsey menyebut bahwa banyak gerakan sosial dapat mencapai skala besar tanpa bantuan iklan politik.
Dia menambahkan, larangan itu tidak akan memengaruhi iklan dengan konten yang mendorong warga AS untuk memberikan suara pada Pilpres 2020.
Kabar terkait larangan iklan politik di Twitter menuai pendapat berbeda dari kubu politik Amerika Serikat untuk Pilpres 2020.
Brad Parscale, manajer kampanye pemilu Presiden Donald Trump, mengatakan larangan itu merupakan upaya dari sayap kiri untuk membungkam Trump dan kaum konservatif.
Namun, Bill Russo, juru bicara kampanye untuk rival Trump, Joe Biden, mendukung larangan itu.
"Ketika dihadapkan dengan pilihan antara iklan dan integritas demokrasi kita, seharusnya demokrasi yang menang," kata dia.
Hillary Clinton, politikus ternama dari Partai Demokrat, menyambut larangan Twitter dan diperkirakan akan mendesak Facebook untuk mengikuti langkah Twitter.
"Ini adalah hal yang benar untuk dilakukan bagi demokrasi di AS dan di seluruh dunia," twit Hillary.
Analis media sosial, Carl Millter, mengatakan langkah Twitter adalah yang pertama kalinya diambil oleh raksasa media sosial.
Menanggapi langkah Twitter, pendiri Facebook Mark Zuckerberg membela kebijakan perusahaannya. Raksasa media sosial itu baru-baru ini menyampingkan opsi melarang iklan politik di platformnya.
"Dalam sebuah demokrasi, saya pikir tidak tepat bagi perusahaan swasta untuk menyensor politikus atau berita," kata dia dalam sebuah konferensi pers.
Pada awal Oktober, Zuckerberg menghadiri audiensi di Washington untuk membela keputusan perusahaannya yang tidak melarang iklan politik yang mengandung fabrikasi.
Zuckerberg sempat mempertimbangkan untuk melarang semua iklan politik di platformnya, tetapi dia meyakini langkah itu hanya akan menguntungkan politikus yang berkuasa.
Juru bicara lainnya untuk Biden telah mengkritik Facebook karena menolak untuk menghapus video yang diunggah oleh tim kampanye pemilu Trump yang mempromosikan teori konspirasi yang tidak terbukti yang melibatkan Biden dan putranya.
"Sungguh tidak dapat diterima bahwa perusahaan media sosial secara sengaja menyebarkan materi yang menyesatkan," kata juru bicara itu.
Calon presiden dari Partai Demokrat, Elizabeth Warren, kemudian memasang sebuah iklan yang sengaja menyesatkan di Facebook yang mengklaim bahwa Zuckerberg secara pribadi mendukung agar Trump dipilih kembali.
Warren menyatakan dia melakukan itu sebagai bentuk protes terhadap keputusan perusahaan untuk mengizinkan politikus memasang iklan yang mengandung kebohongan.