Benarkah banyak gen Z menganggur karena salah jurusan?
Belakangan ini beredar video ribuan pelamar kerja yang mengantre untuk mengajukan lamaran pekerjaan. Misalnya saja, beberapa waktu lalu ribuan pelamar kerja di sebuah pabrik di Batam, Kepulauan Riau, yang tengah diseleksi tinggi badan menggunakan sebuah palang pengukur.
Lalu, pada Jumat (17/5) ratusan pelamar kerja antre untuk melamar pekerjaan di sebuah warung seblak di kompleks pertokoan Pasar Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Terakhir, pada Selasa (28/5) ratusan pencari kerja memadati area Jakarta Job Fair di pusat perbelanjaan Thamrin City, Jakarta.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan survei angkatan kerja nasional (sakernas) pada Februari 2024, jumlah angkatan kerja sebanyak 149,38 juta orang, naik 2,76 juta orang dibanding Februari 2023. Penduduk yang bekerja pada Februari 2024 sebanyak 142,18 juta orang, naik 3,55 juta orang dari Februari 2023.
Namun, sebanyak 9,89 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau generasi Z menganggur. Mereka masuk dalam kategori not employment, education, or training (NEET), yang merupakan penduduk berusia muda yang tak sekolah, tak bekerja, atau tak mengikuti pelatihan.
Dikutip dari CNBC, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, salah satu faktor yang membuat banyak generasi Z menganggur adalah salah memilih sekolah dan jurusan sewaktu berkuliah.
Kondisi itu dialami Muhammad Fikri. Pada 2023, ia lulus dari kampus swasta di Jakarta jurusan hukum perdata. Ia sempat menganggur sekitar delapan bulan, sebelum akhirnya diterima bekerja di sebuah bank pada September 2023. Sebelum diterima di bank itu, ia sudah melamar ke banyak perusahaan.
“Ada sekitar 20-an lebih (perusahaan) yang saya lamar,” kata Fikri kepada Alinea.id, Selasa (28/5).
Menurut Fikri, perusahaan yang dilamarnya ada yang menolak, tetapi tak sedikit pula yang menggantungkan harapannya. Tak ada kejelasan lagi setelah wawancara. Perusahaan yang menolak biasanya karena alasan kampus tak sesuai standar mereka.
“Karena mereka (perusahaan) memiliki standar kampus. Jadi, mereka akan mendahulukan kampus yang masuk pada list dan sarjana yang di luar (list) itu akan menjadi pilihan kedua,” ujar Fikri.
Sebelum diterima di bank swasta itu, Fikri sempat bekerja yang tak sesuai jurusan kuliahnya di sebuah kedai kopi di daerah Bintaro, Tangerang Selatan. “Untuk tambah-tambah uang jajan saja, bukan mencari pengalaman,” tutur Fikri.
Kini, di bank swasta tersebut, ia bertugas memproses permohonan kartu kredit, dengan mendata dan mengirimkannya kepada nasabah. Ia tak berharap banyak dari pekerjaannya sekarang.
“Keinginnan saya sebenarnya saat ini hanya menjalani dunia kerja dan mendapat uang. Pekerjaannya enggak penting. Selama legal, saya jalani,” kata dia.
Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi menjelaskan, di dunia kerja tak ada istilah salah jurusan. Istilah yang tepat adalah mix match.
“Katakanlah orang yang kuliah jurusan manajemen, dia bekerja sebagai guru. Nah, ini yang namanya mix macth, di mana orang yang bekerja itu tidak sesuai dengan jurusan mereka,” ujar Tadjuddin, Selasa (28/5).
“Kalau bahasa lainnya itu ya salah penempatanlah. Dia berkuliah apa dan bekerja apa.”
Di Indonesia, kata dia, cukup banyak kasus demikian. “Bahkan, ketika membandingkan skala pengangguran dan mix match ini bisa jadi lebih besar,” kata dia.
Menurut dia, penting mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan seseorang saat berkuliah. Sebab, dari sudut pandang ketenagakerjaan, seseorang yang pekerjaannya berbeda dengan pendidikannya bisa menyebabkan produktivitas orang tersebut rendah. Karena tak sesuai dengan bidang pendidikannya.
“Katakanlah ada anak baru lulus, lalu ada tawaran (kerja). Biasanya mereka akan langsung masuk saja kan daripada menganggur,” ujar Tadjuddin.
“Ini bukan hal yang baik karena produktivitasnya tidak maksimal. Dan ini banyak terjadi di Indonesia.”
Menurut Tadjuddin, pasar internasional yang terganggu dan tidak bisa berkembang pasca-pandemi Covid-19, dilanjutkan perang antara Rusia dengan Ukraina adalah penyebab lapangan pekerjaan turun. Soalnya, hal itu membuat hampir semua harga barang naik, pasar kita mengalami penurunan, masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan.
“Akhirnya banyak perusahaan yang PHK (pemutusan hubungan kerja). Industri juga ikut mengalami penurunan dan tidak membutuhkan pekerja baru kan?” kata Tadjuddin.
Kemudian, penyebab lain lapangan pekerjaan turun adalah rendahnya investasi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Investor enggan memasukkan uangnya karena kebijakan dan peraturan yang rumit.
“Lalu politik kita juga enggak stabil. Orang tidak akan mau menanamkan modalnya kalau politik kita juga tidak jelas,” ujar dia.
Lalu, banyak tenaga kerja di Indonesia yang kurang terampil. “Ini ada kasus pada waktu beberapa perusahaan yang sebelumnya di China, mereka ingin mulai memindahkan investasinya ke berbagai negara di Asia Tenggara,” kata Tadjudiin.
“Mereka akhirnya malah pada lari sebagian besar ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia.”
Tidak ada perusahaan yang masuk ke Indonesia, padahal memiliki tenaga kerja yang besar jumlahnya, kata dia, kemungkinan ada masalah di Indonesia. Ia mengatakan, jika ada perusahaan atau investor datang ke Vietnam, mereka akan gelar karpet merah. Sebab, para investor itu membawa uang.
“Sedangkan di Indonesia, banyak ‘meja’ yang harus didatangi,” ujar Tadjuddin.
“Belum lagi di pusat minta sesuatu dan daerah nagih sesuatu lagi, yang mungkin setahun juga belum tentu selesai. Kan satu tahun bagi investor ini adalah waktu yang berharga.”
Bagi Tadjuddin, solusi yang tepat untuk mengatasi pengangguran gen Z adalah dengan pelatihan Negara, ujar dia, harus bisa melihat kebutuhan pasar dunia dan melatih tenaga kerja ke arah tersebut.
“Misal sekarang lebih besar (sektor) teknologi, ya pemerintah membuka pelatihan yang sesuai dengan teknologi,” kata dia.
“Supaya pada akhirnya mereka terserap dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan bisa meningkatkan produktivitas pasar kerja di Indonesia.”