sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Democratic Policing: Gagasan wujudkan kepolisian yang demokratis

Kiki Syahnakri menilai, buku yang ditulis Hermawan Sulistyo dan Tito Karnavian tersebut adalah produk intelektual yang ngawur dan berbahaya.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 04 Mar 2019 18:15 WIB
Democratic Policing: Gagasan wujudkan kepolisian yang demokratis

Bukan gagasan baru

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan, buku ini tak lebih dari penegasan kembali gagasan lawas yang sudah dicicil di Indonesia, dalam regulasi yang memayungi Polri. Di luar negeri, gagasan ini bahkan sudah mulai disemai sejak pasca-Perang Dingin.

Democratic policing adalah keniscayaan di tengah zaman yang terus berkembang dengan problematikanya. Contoh, di perkotaan kita tak membutuhkan banyak polisi karena sistem surveillance (pengawasan) sudah memadai, tapi beda cerita di desa-desa,” kata Muradi, Rabu (30/1).

Hal ini, kata Muradi, sama dengan debat yang terjadi pada 1980 hingga 1990-an, soal siapa yang paling pantas menunggu perbatasan Eropa, militer atau polisi.

“Serta kenapa militer perannya harus meluas pasca-Perang Dingin. Ya seputar itu saja poin pentingnya, polisi dan militer memang harus berubah menyesuaikan zaman,” ujar Pengamat polisi, pertahanan, dan keamanan ini.

Buku ini, kata dia, ditulis dalam bahasa normatif yang memang bisa saja berpotensi memancing kekhawatiran dari sejumlah orang, terutama yang belum baca secara utuh.

Anggota Dalmas Polda Metro Jaya berusaha membubarkan pengunjuk rasa saat Simulasi Pengamanan Pemilu 2019 di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Metro Jaya, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (4/3). /Antara Foto.

Gagasan utopis?

Sponsored

Pengamat terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, gagasan ini bukan hanya bertengger di menara gading. Menurutnya, sepanjang ada komitmen kuat yang diiringi dengan penjabaran dan pedoman teknis yang jelas dan tegas, katanya, gagasan penulis buku ini sangat mungkin diterapkan.

Masalahnya, kata dia, “polisi pemerintah” semacam Polri sangat sulit berjarak dengan kekuasaan, dan cenderung berkutat pada pengukuran kinerja berbasis angka-angka statistik, seperti keberhasilan dan kegagalan pengungkapan kasus kejahatan.

“Padahal, sebagaimana pada konsep sebelumnya dalam ‘community policing’ atau perpolisian berbasis masyarakat, mestinya ukuran keberhasilan kepolisian adalah adanya dukungan dan partisipasi aktif masyarakat menjaga keamanan lingkungan, peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan terciptanya kondisi tertib sosial,” katanya, Rabu (30/1).

Bagi Khairul, bila Polri tak bisa menunjukkan mereka mampu menjaga jarak dengan kekuasaan, dan gagal meraih dukungan atau partisipasi aktif masyarakat, maka konsep itu hanya akan ada di atas kertas. Realisasinya pun sekadar formalitas dan seremonial.

Apalagi, kata dia, Polri menghadapi tantangan yang tak ringan. Di tengah ancaman serangan terhadap instalasi dan personelnya, terdapat keraguan atas upaya penegakan hukum dan ketertiban sosial, maupun kemampuannya menjaga keamanan serta mengelola kepatuhan dan rasa takut warga.

Hal itu dimaklumi, mengingat selama lebih dua dekade, Polri ditempa dengan pola pikir yang sekadar berbasis statistik kriminalitas. Namun, lagi-lagi jika berkaca pada sejarah, Polri cenderung menjaga jarak dengan publik, lantaran banyaknya kepentingan yang berseberangan.

Pembaca hanya bisa berharap agar gagasan yang sudah ditegaskan kembali dengan detail oleh Hermawan Sulistyo tidak berakhir sebagai masturbasi intelektual. Apalagi buku ini ditulis bersama Tito Karnavian, yang ada andil langsung dalam menentukan serta menjalankan arah kebijakan Polri.

Berita Lainnya
×
tekid