sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Green Book: Potret satire diskriminasi ras di Amerika

Kita belajar dari film ini, kebencian tak melulu datang dari diri, melainkan keterikatan kolektif di sekitarmu.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 18 Jan 2019 13:57 WIB
Green Book: Potret satire diskriminasi ras di Amerika

Pada 1962, Amerika Serikat bagian selatan belum ramah terhadap warga kulit berwarna. Tapi, Don Shirley (Mahershala Ali), seorang Afro-Amerika dari New York, nekat menghelat safari musik. Dia melintasi kota “berbahaya”, meniru Nat King Cole, seorang pemusik kulit hitam yang pertama tampil di Auditorium Municipal, Birmingham, pada 1956.

Wajah ganda kemanusiaan

Saat itu, Cole memang habis dihajar kerumunan penonton. Namun, Don optimis, catatan kelam itu tak akan terulang kepada dirinya. Sebab, Don punya dua senjata.

Pertama, Green Book. Kedua, Tony “Lip” Vallelonga (Viggo Mortensen). Green Book merupakan brosur perjalanan paling penting yang dipublikasi khusus oleh pelancong kulit hitam, untuk memberi rasa aman singgah di tempat “ramah”.

Green Book berisi daftar penginapan dan restoran yang mengizinkan kaum kulit berwarna masuk, tanpa khawatir ada penganiayaan, penembakan, penggantungan, dan penikaman massa—di mana pelakunya punya hak impunitas.

Menariknya, Green Book yang punya jargon “Berlibur Tanpa Kejengkelan” ini dilengkapi daftar harga, termasuk fasilitas dan menu restoran.

Sejarahnya, Green Book ditujukan untuk pengendara motor kulit hitam di Amerika. “Buku hijau”. itu dibuat Victor Hugo Green, tukang pos Afro-Amerika kelahiran Harlem, bekerja di Hackensack, New Jersey.

Menurut kritikus film Alissa Wilkinson dalam artikelnya “Green Book builds a feel-good comedy atop an artifact of shameful segregation. Yikes” di Vox edisi 9 Januari 2019, Green mengerjakan proyek itu dari 1938 hingga 1966, tak lama usai Undang-Undang Hak Sipil diteken, setelah jeda Perang Dunia II selama empat tahun.

Sponsored

Sebanyak 22 edisi dan satu suplemen Green Book yang terbit selama kurun waktu tadi, kini sudah dihimpun dan didigitalisasi Pusat Penelitian Budaya Hitam Schomburg di Perpustakaan Umum New York.

Viggo Mortensen dan Mahershala Ali dalam film Green Book. (Imdb.com)

Namun, dalam film ini, Green Book tetap nihil—tanpa seorang sopir sekaligus pelayan seperti Tony, family man Italia yang jago berkelahi, berkelakar sepanjang waktu, dan tanggung jawab atas pekerjaannya. Reputasi Tony itulah yang membuat Don tertarik menyewa jasanya, terutama agar dia merasa aman sepanjang pergelaran musik di sejumlah kota.

Apakah asa Don terkabul?

Tidak juga. Baru separuh perjalanan, Don babak belur dihajar kelompok pria di sebuah bar, Louisville, Kentucky hanya karena warna kulitnya berbeda. Untung ada Tony yang pasang badan menyelamatkannya. Di lain waktu, dia dipenjara hanya karena kedapatan menyewa jasa pria kulit putih, yang dianggap tak layak dilakukan “manusia kelas dua” sepertinya.

Diskriminasi pada Don tak sekadar berupa hajar-menghajar, dia dilarang makan di restoran yang notabene telah mengundangnya tampil memainkan piano di sana. Dia hanya boleh menggunakan toilet bedeng dari kayu dekil, di antara semak-semak di halaman tuan rumah yang memintanya tampil bersama Trio Don Shirley.

“Orang-orang kulit putih mengundangku bermain musik hanya demi membuktikan, mereka manusia berbudaya. Di luar itu, aku tetap Negro yang dipandang sebelah mata,” ujar Don suatu malam, setelah berhasil lolos dari bui, karena menelepon adik Presiden Amerika Serikat, Bobby Kennedy.

Sebenarnya Don bisa saja tampil di Carniege Hall, gedung pertunjukan sekaligus rumahnya di New York. Namun, menurutnya, kejeniusan musik di kandang sendiri tak akan cukup. Butuh keberanian untuk mengubah hati orang-orang kulit putih Amerika.

Ya, hal ini memang ajang pembuktian atas pendapat keras kepalanya.

Sementara bagi Tony, hal ini adalah caranya untuk menghidupi istri dan dua anak, sekaligus menjadi “perjalanan spiritual” pribadi. Tony dulunya sangat anti-Negro.

Karena arogansinya itu, dia bahkan membuang dua gelas bekas minum pekerja kulit hitam yang didatangkan sang istri untuk memperbaiki pipa air. Perjalanan dengan Don, membuat matanya terbuka, betapa Amerika punya wajah ganda kemanusiaan.

Berita Lainnya
×
tekid