sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pandemi Covid-19 yang mengubah kebiasaan orang Indonesia

Dalam keadaan pandemi Covid-19, aktivitas warga banyak dihabiskan di ranah digital.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Minggu, 19 Apr 2020 17:50 WIB
Pandemi Covid-19 yang mengubah kebiasaan orang Indonesia

Sudah tiga minggu belakangan Vicky Stefan, guru SD Tarsisius II, Palmerah, Jakarta Barat menerapkan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan aplikasi Google Classroom, untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Imbauan untuk belajar di rumah juga sudah disampaikan pemerintah sejak pertengahan Maret 2020. Peralihan pembelajaran ke ranah digital menjadi segalanya berubah.

Vicky mengatakan, dalam situasi normal biasanya ia dapat memaparkan lima hingga enam mata pelajaran dalam sehari. Namun, semasa pembelajaran jarak jauh seperti sekarang, ia hanya melaksanakan kegiatan belajar dua hingga tiga mata pelajaran sehari.

Selain itu, jam pembelajaran untuk siswa bisa lebih fleksibel. Akan tetapi, dalam beberapa kali pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, Vicky mengaku sebagian siswa mengalami beberapa kendala. Paling utama adalah akses internet yang lambat.

“Karena tidak semua punya akses internet yang lancar, guru jadi agak susah mengoordinasikan siswa untuk pengerjaan tugas,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (18/4).

“Jadinya, kalau siswa baru bisa online pas malam hari, tugasnya dikerjakan malam dan harus dikumpulkan malam itu juga.”

Pandemi juga mengubah pola bekerja seseorang. Desainer grafis di perusahaan e-commerce, Dandy Nugraha mengatakan, rapat tim kerja perusahaannya kini beralih menggunakan aplikasi Zoom atau Slack.

Masalah pun dialami Dandy. Karena komunikasi tidak dilakukan secara tatap muka, ia beberapa kali menemui kendala teknis dengan rekan kerjanya. Misalnya, beberapa pertanyaan dari atasannya tentang konsep desain konten, kerap kali harus ia jelaskan melalui telepon.

Sponsored

“Jadi lebih lambat kerjanya. Kadang kalau kita request butuh sesuatu, jadi enggak selalu bisa dipenuhi cepat karena teman sedang ada kesibukan lain di rumahnya,” kata Dandy saat dihubungi, Jumat (17/4).

Dandy pun merasa, saat ini beban kerja malah bertambah. “Banyak tugas pekerjaan yang lebih dipadatkan. Rapat seperlunya saja, enggak banyak diskusi,” ucapnya.

Panyebaran masif virus mematikan asal Wuhan, China pun membuat pasangan Putri Wartawati dan Destian Andriyanto Kurniawan melangsungkan pernikahan tanpa pesta. Mereka hanya mengundang kedua orang tua dan penghulu.

Untuk menyebarkan momen bahagianya, Putri bersiasat. Ia merekam melalui video prosesi akad nikah dan disiarkan langsung lewat akun Instagram mereka. Hal ini merupakan upaya Putri dan Destian dalam mematuhi physical distancing dan larangan berkumpul dari pemerintah untuk memutus mata rantai penularan virus SARS-CoV-2.

“Kami berdua enggak ingin melanggar aturan Kementerian Agama, tapi juga enggak mau mengundur hari pernikahan yang sudah ditentukan bersama orang tua,” kata Putri saat dihubungi, Jumat (17/4).

Dua anak menonton video belajar digital dari rumah di Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/03/2020). Foto Antara/M Agung Rajasa.

Problem akses internet

Aktivitas warga melalui internet pun bukan tanpa kendala. Selama empat pekan pemberlakuan belajar di rumah, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, ada 213 pengaduan masyarakat.

Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, pengaduan berasal dari semua jenjang pendidikan. Data yang dihimpun sejak 16 Maret hingga 9 April 2020 menyebut, pengaduan terbanyak datang dari jenjang SMA, yakni 95 kasus.

Menurut Retno, ada tiga persoalan utama dari pengaduan itu, yakni beban penugasan dari guru yang dirasa berat, ketersediaan kuota internet, dan penolakan orang tua membayar biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

“Harus diingat bahwa mewabahnya Covid-19 saat ini adalah kondisi darurat yang waktunya bisa lebih dari tiga bulan. Artinya, pembelajaran jarak jauh dengan segala keterbatasan akan berlangsung lama dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, serta minim pendampingan guru dalam proses pembelajaran,” kata Retno melalui konferensi pers virtual, Senin (13/4).

Retno menuturkan, bagi orang tua yang pekerja upah harian, kebijakan belajar di rumah mengharuskan mereka mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli kuota internet. Belum lagi masalah buruknya sinyal internet.

“Masalah sinyal menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit,” kata Retno.

Sementara itu, dosen Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani mengatakan, intensitas pemakaian internet dalam keseharian masyarakat di masa pandemi cenderung meningkat. Oleh karena itu, ia menyarankan, pemerintah harus mendukungan penyediaan akses internet.

“Internet seharusnya sudah mulai bisa dipikirkan menjadi fasilitas publik. Selama ini dikelola oleh swasta, yang cenderung menyebabkan mahalnya ongkos kuota internet,” kata dia saat dihubungi, Jumat (17/4).

“Padahal, akses dan kecepatan internet untuk publik ini dibutuhkan untuk bekerja dan belajar.”

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto memandang, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) perlu menyediakan insentif kepada institusi pendidikan sebagai wujud kebijakan belajar dari rumah.

Damar pun menyebut, pemerintah perlu mewajibkan perusahaan penyedia layanan internet agar memberikan bantuan kemudahan akses internet untuk para pekerja, yang menjalankan aktivitas bekerja dari rumah. Ia mengatakan, hal itu sebagai bagian dari konsekuensi logis dari lonjakan pemakaian internet, yang mengakibatkan lambatnya akses.

“Penyedia layanan internet dan pemerintah berperan besar untuk memastikan tidak ada internet or network congestion, juga kesetaraan layanan akses,” ujar Damar ketika dihubungi, Sabtu (18/4).

Lebih lanjut, Damar mengungkapkan di beberapa negara, seperti Iran, Maladewa, dan Malaysia, ada kebijakan menggratiskan internet selama masa pandemi Covid-19. Indonesia, menurut dia, perlu memberi dana insentif dan melakukan negosiasi ke jejaring pusat data luar negeri untuk memberikan lebih banyak bandwidth international.

Di samping itu, Damar menyarankan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat terkait keamanan digital, seperti pengelolaan keamanan data pribadi dan memilih perangkat komunikasi yang aman.

“Setiap warga perlu mulai belajar mengurangi akses yang tidak penting demi menurunkan beban akses internet. Misalnya, memilih mana aplikasi atau laman yang lebih secure,” ucapnya.

Karyawan beraktivitas di sebuah gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Foto Antara/Wahyu Putro A.

Masyarakat yang berubah

Aktivitas belajar dan bekerja publik yang beralih ke ranah digital, mungkin hanya dua contoh perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia selama pandemi Covid-19. Pada 17 hingga 28 Maret 2020, perusahaan survei RB Consulting bekerja sama dengan Snapcart melakukan survei untuk memotret perubahan apa saja yang terjadi terhadap orang Indonesia di masa pandemi.

Survei itu dilakukan terhadap 2.000 responden laki-laki dan perempuan di Jakarta, Semarang, Medan, Makassar, Bandung, Surabaya, Palembang, dan Manado. Hasil survei itu menunjukkan, dampak Covid-19 paling terasa dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya, kekhawatiran akan karier dan pekerjaan, rencana liburan dan wisata yang ditunda, kekhawatiran kegiatan keagamaan yang terbatas, tak bisa melakukan kebiasaan berbelanja, mengganggu waktu luang, usaha, pelajaran, kehidupan berkeluarga, hobi, emosi, dan hubungan dengan pasangan.

Pandemi pun mengubah gaya hidup orang Indonesia terhadap teknologi. Menurut pengamat media sosial Eddy Yansen, pandemi Covid-19 bisa membangun percepatan adopsi teknologi secara lebih meluas hingga ke komunitas warga yang paling kecil.

“Ini adalah momentum yang ditunggu, di mana adopsi teknologi remote seperti bekerja dan belajar secara daring menjadi norma baru,” tutur Eddy saat dihubungi, Sabtu (18/4).

“Kondisi ini memaksa guru untuk mampu menggunakan video, merekam, mengedit, selayaknya seorang content creator atau youtuber untuk mengajar jarak jauh.”

Di sisi lain, Nadia Yovani menuturkan, dalam jangka waktu yang lama, kebiasaan baru dalam masyarakat semasa pandemi berpeluang membangun perubahan sosial. Dalam situasi krisis bencana nonalam seperti ini, menurut dia, ada empat tahap perubahan sosial, yakni pengendapan, pembiasaan, pembiasaan ulang, dan keseimbangan yang baru.

Empat tahapan tersebut, kata Nadia, tergantung seberapa lama pandemi berlangsung. Untuk bisa membentuk sebuah kebiasaan baru itu, ungkap Nadia, dibutuhkan masa pembiasaan setidaknya selama setahun. Syaratnya, bila dalam waktu setahun itu kasus penularan coronavirus masih berlangsung masif.

Infografik perubahan gaya hidup orang Indonesia karena Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.

Nadia mengatakan, dalam waktu setahun tersebut, baru akan terbentuk reorgaisasi cara orang hidup, bekerja, dan belajar.

“Jika bencana corona ini akan mengambil waktu lebih dari tiga bulan, tentunya tahap precipitating dalam berbagai aktivitas mulai terbentuk. Masyarakat akan mengalami pembiasaan akan hal-hal ini,” kata Nadia.

Ia mengungkapkan pula, akan ada masa pemulihan pascabencana yang dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya pandemi. Misalnya, kebijakan baru untuk menghidupkan kembali roda perekonomian dan aktivitas warga.

“Corona ini adalah jenis bencana progressive diffused disaster, yang tentu akan memberikan jenis perubahan sosial yang berbeda dengan tipe bencana lainnya,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid