sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Wajah toleransi di balik ‘war takjil’

Istilah war takjil belakangan populer di media sosial, sebagai sebutan berburu takjil yang dilakukan tak hanya antarumat Islam.

Fery Darmawan
Fery Darmawan Rabu, 27 Mar 2024 18:30 WIB
Wajah toleransi di balik ‘<i>war</i> takjil’

Sejak sekitar pukul 14.00 WIB, pedagang makanan atau minuman untuk berbuka puasa alias takjil di sekitar Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat, sudah mulai membuka lapaknya. Para pembeli pun mulai berburu takjil. Sebuah lapak yang berdagang kolak tampak sangat ramai. Bahkan, antrean tak terhindarkan. Semakin sore, mendekati waktu berbuka puasa, lapak itu semakin ramai.

Salah seorang pembeli berasal dari kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Ratna, mengaku sudah antre sejak sekitar pukul 15.00 WIB. Ia baru mendapatkan takjil kolak pada pukul 16.30 WIB.

“Kebetulan saya di sini ingin mencoba kolaknya ya. Satu kolak harganya Rp18.000,” ucap Ratna kepada Alinea, Selasa (26/3).

Ratna tak masalah jika ada warga non-Muslim yang ikut berburu takjil. “Enggak apa-apa kok. Kita hargain agama mereka. Lagi pula enggak ngerugiin kita juga kok,” ujar Ratna.

Asep, seorang tukang ojek yang kebetulan lewat lapak takjil tersebut setelah mengantar penumpang, sebentar berhenti. Tadinya, ia berniat ingin membeli kolak. Namun, diurungkan karena melihat sore itu lapak tersebut sudah sangat ramai pembeli.

Senada dengan Ratna, Asep pun tak masalah dengan warga non-Muslim ikut mencari makanan dan minuman berbuka puasa. “Dari dulu juga orang beragama non-Muslim ikut cari (makanan) bukaan (puasa) kok. Malah bukan bukaan aja. Mereka ikut jualan,” kata Asep.

Lapak kolak yang buka selama bulan Ramadan tersebut belakangan memang viral di media sosial karena kerap ramai pembeli. Bahkan, yang menarik, di lapak ini pun ada calo. Salah seorang calo, Udin, mengatakan pekerjaannya membantu pembeli kolak tersebut hanya sampingan. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang ojek.

“Kebetulan saya kenal sama yang jual. Jadi, kita bekerja sama lah istilahnya karena kalau beli langsung, apalagi (datangnya) telat, enggak bakal kebagian,” ujar Udin, Selasa (26/3).

Sponsored

Udin mematok ongkos jasa Rp10.000 per bungkus. Namun, kolak pesanan baru bisa diambil keesokan harinya. Ia pernah mendapat pesanan sebanyak 12 bungkus. “Kebetulan baru tahun ini sangat ramai. Jadi, mereka yang malas ngantre atau rebutan bisa menggunakan jasa (calon),” kata dia.

Menurutnya, banyak warga non-Muslim yang mencari takjil, terutama di lokasi sekitar Mangga Besar. “Kita harus menghargai juga kalau mereka mau membeli, makan, mencoba, masa kita larang,” tutur Udin.

Seorang warga non-Islam, Jason, ikut berburu takjil kolak di lapak tersebut. Ia pun ikut antre menunggu giliran. Bukan tahun ini saja Jason ikut berburu takjil.

“Dari tahun ke tahun sih sudah rebutan takjil. Padahal enggak puasa,” kata Jason. “Cuma terkadang masih sungkan untuk langsung makan di tempat, jadinya ya di-take away bawa ke rumah.”

Alasan Jason ikut berburu takjil adalah untuk membantu membeli dagangan UMKM. “Saya sering bilang gini sih sama teman saya yang beragama Islam. Agamamu agamamu, takjilmu untukku. Itu lelucon aja, tapi emang benar nyatanya, haha,” ucap Jason.

Berburu takjil lebih cepat supaya tak kehabisan atau istilah populernya di media sosial disebut “war takjil” mengemuka di bulan Ramadan tahun ini. War takjil tak cuma dilakukan antarumat Islam, tetapi umat beragama lainnya pun ikut berburu. Istilah war takjil semakin populer usai pendeta Steve Marcel berkomentar soal fenomena itu dalam sebuah khotbahnya.

Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto, war takjil adalah bentuk solidaritas antarumat beragama. Sebab, yang terjadi bukan perang dalam arti saling berebut takjil, tetapi memburu takjil untuk ikut merasakan dan berbagi setelah dibeli.

“Tidak ada persaingan yang berlebihan. Semua menyikapi dengan happy. Ini adalah ekspresi berbagi dan bertoleransi,” ujar Bagong kepada Alinea.id, Selasa (26/3).

“Bulan Ramadan tidak hanya milik umat Muslim, tapi sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia. Manfaatnya satu sama lain bisa belajar, sehingga memahami dan berempati.”

Berita Lainnya
×
tekid