sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menyikapi ajang pamer saat berbuka puasa bersama

Buka puasa bersama atau bukber tak jarang dijadikan ajang pamer harta atau pencapaian.

Fery Darmawan
Fery Darmawan Kamis, 04 Apr 2024 18:00 WIB
Menyikapi ajang pamer saat berbuka puasa bersama

Berbuka bersama atau bukber merupakan tradisi tahunan berbuka puasa bersama rekan kerja, kawan, atau teman-teman sekolah lama yang diadakan setiap bulan Ramadan. Bukber sesungguhnya adalah aktivitas positif untuk memelihara tali persaudaraan sesama Muslim. Ini adalah momen berharga di mana umat Muslim bersama-sama menikmati makanan dan minuman setelah seharian berpuasa.

Namun, sering kali bukber dijadikan sebagai ajang pamer harta atau pencapaian antarteman lama. Bahkan, lantaran banyak motif adu gengsi, muncul jasa penyewaan iPhone atau kendaraan mewah di media sosial untuk hadir di acara bukber.

Menurut seorang ustaz di Tangerang Selatan, Ahmad Rifai, pamer harta saat berkumpul dapat memicu perasaan dengki dan iri hati pada orang lain. Saat melihat orang lain memamerkan kekayaan atau materi, ujar Ahmad, orang yang merasa dengki dapat tak puas dengan apa yang dimilikinya dan merasa iri terhadap keberhasilan orang lain.

“Penyakit ain (dengki atau iri hati) dapat muncul akibat pamer harta karena melihat kekayaan atau materi yang dimiliki orang lain, dapat memicu perasaan tidak puas dan iri dalam diri seseorang,” kata Ahmad saat ditemui Alinea.id di bilangan Tangerang Selatan, Banten, Rabu (3/4).

Dampaknya, hubungan sosial bakal terganggu dan perasaan tak puas. “Menimbulkan ketidakharmonisan dan perselisihan antara individu yang terkena penyakit ain,” tutur dia.

Psikolog anak, remaja, dan keluarga sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan mengatakan, acara-acara bukber kerap kali diunggah di media sosial. Tujuan sebenarnya untuk memperlihatkan silaturahmi antarkolega.

“Namun, ketika ada pamer harta, pamer (makanan) yang dihidangkan, atau dari pakaian, itu memang balik lagi kepada motif individu masing-masing,” ujar Sani, Kamis (4/4).

“Karena tidak semua hal yang sama ditayangkan, tapi memiliki motif yang sama.”

Sponsored

Jika ada orang yang motifnya memamerkan harta atau flexing, kata Sani, mereka ingin memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri melalui apa yang dimiliki. “Nah, ini tentunya cara-cara yang kurang sehat,” tutur Sani.

“Karena orang-orang yang memenuhi kepuasan dengan materi, biasanya tidak akan puas, tidak akan mempunyai standar cukup, bahkan rentan ikut-ikutan atau mengikuti teman yang biasa flexing.”

Menurut Sani, banyak orang yang terjebak dalam sikap mengikuti tren atau bahkan iri terhadap teman yang lebih sukses. Mereka yang lebih fokus pada kekayaan dan sering membandingkan diri dengan orang lain, kata dia, jarang merasa puas karena selalu ada orang lain yang dianggap lebih baik.

“Orang-orang dengan sikap seperti ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan perasaan tidak pernah puas,” kata Sani.

“Peningkatan kesan dalam diri seharusnya bukan hanya melalui kemewahan material, tetapi melalui pengembangan kualitas kepribadian.”

Sementara itu, sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengungkapkan, fenomena flexing atau memamerkan keberhasilan tak hanya terjadi dalam kegiatan sehari-hari. Akan tetapi juga terjadi dalam kegiatan keagamaan, termasuk saat buka bersama.

“Saat Ramadan tiba, orang-orang sering kali ingin berbangga diri dan memamerkan kesuksesan mereka dalam (acara) bukber,” kata Bagong, Kamis (4/4).

Bagong mengatakan, acara bukber dalam perkembangannya mengalami entropi budaya yang mengkhawatirkan. Kegiatan ini, ujar dia, sering hanya dilaksanakan dengan kulit belaka, tanpa punya substansi yang bermakna.

Di sisi lain, Ahmad menjelaskan, agama Islam mengajarkan seseorang untuk mengendalikan perasaan dengki saat melihat orang lain pamer harta melalui prinsip kerelaan, syukur, dan kebersamaan.

“Islam mengajarkan agar kita bersyukur dengan apa yang telah kita miliki, menghargai, dan berbagi dengan orang lain, tanpa memicu perasaan dengki atau iri hati,” ujar Ahmad.

Selain itu, menurut dia, Islam pun memberikan solusi untuk mengatasi dan penyembuhkan penyakit ain akibat pamer harta saat bukber atau Lebaran, dengan mengajarkan kesadaran akan kerelaan dan keikhlasan. Lalu, mengutamakan kehidupan sosial yang harmonis dan saling berbagi.

Lebih lanjut, ia mengatakan, ada tata cara dalam berbagi kebahagiaan materi agar tidak menimbulkan dampak negatif, seperti melakukan secara sederhana dan tidak berlebihan.

“Tidak memamerkan secara berlebihan di media sosial, serta melibatkan orang-orang yang membutuhkan dalam proses berbagi kebaikan,” tutur Ahmad.

“Hal ini akan membantu menghindari terjadinya perasaan dengki atau iri hati dari orang lain.”

Sedangkan Sani menerangkan, sebagai seorang individu yang sehat, langkah yang dapat dilakukan adalah merencanakan upaya untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Misalnya, memperbaiki sifat-sifat yang kurang baik agar menjadi lebih baik, ramah, positif, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain. Kegiatan sehat seperti silaturahmi, menurut dia, penting untuk meningkatkan hubungan sosial, bukan untuk memamerkan kekayaan.

“Contohnya, menggunakan media sosial dengan tujuan memberikan inspirasi dan membangun silaturahmi, bukan untuk memamerkan diri,” ucap Sani.

“Ketika seseorang fokus pada peningkatan kualitas kepribadian, pengenalan dirinya akan lebih sehat daripada mereka yang hanya mengandalkan kepuasan materi yang tidak pernah cukup.”

Bagong mengingatkan, makna hakiki dari bukber adalah momen untuk bersilaturahmi dan menjalin kebersamaan dalam berbagi rezeki. Melalui bukber, kata dia, seseorang dapat mengaktifkan nilai-nilai kebersamaan, saling peduli, dan tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari.

“Bukber seharusnya lebih dari sekadar pamer diri atau mencari pengakuan,” tutur Bagong.

Ia melanjutkan, momen bukber harus diapresiasi sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan sikap empati terhadap sesama. Seseorang bisa menghidupkan makna sesungguhnya dengan melibatkan masyarakat sekitar, menyantuni mereka yang membutuhkan, serta berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang kurang beruntung.

“Bukber seharusnya menjadi ajang kebaikan, penyejuk jiwa, dan ajang refleksi untuk meningkatkan kualitas hidup beragama,” ujar Guru Besar Sosiologi Unair itu.

“Mengembalikan makna hakiki bukber bukanlah tugas yang mudah. Namun, bersama-sama, kita dapat membangun semangat dan kesadaran kolektif untuk melaksanakan bukber dengan jiwa yang sesungguhnya.”

Berita Lainnya
×
tekid