sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Subarudi

Hukuman bagi penulis KTI di BRIN: Sebuah ironi dan irasionalitas 

Subarudi Rabu, 24 Jan 2024 17:45 WIB

Pertama-tama, saya mengucapkan turut belasungkawa dan turut prihatin dengan penjatuhan sanksi etika kepada para penulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul” “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” yang diterbitkan pada Jurnal LAND pada 16 Juni 2023 dengan status Terindeks Global Tinggi (Q1) baik di e-peneliti maupun di Scopus.

Informasi tersebut saya peroleh berdasarkan hasil penuturan beberapa penulis KTI tersebut yang telah mengikuti webinar pada Senin, 8 Januari 2023, antara para penulis dengan pimpinan instansinya. Hasil kesimpulan webinar adalah, para penulis tersebut dikenakan sanksi penurunan nilai perilaku dalam penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dengan konsekuensi terkena pemotongan tunjangan kinerja (tukin) antara 10%-20% selama satu tahun.

Ternyata, rencana hukuman tersebut direalisasikan juga. Saya tidak habis pikir dan mengerti mengapa semua ini terjadi di tengah manajemen BRIN sedang bergembira ria karena publikasi global yang dihasilkan peneliti, periset, dan perekayasa BRIN 2023 telah mencapai 4.633 publikasi. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 3000-an publikasi (Kompas, 25/12/2023).

Dapat diibaratkan mereka menari-nari di atas penderitaan para penelitinya karena kemungkinan besar kenaikan jumlah publikasi tersebut sebagai dampak diberlakukannya Keluaran Kinerja Minimal (KKM). Di mana, setiap peneliti/periset/perekayasa diwajibkan menghasilkan karya tulis ilmiah (KTI) di jurnal-jurnal internasional yang terindeks global. Jumlah KTI yang meningkat juga bukan semua atas hasil kegiatan riset di BRIN, tetapi juga sisa-sisa data dari hasil riset ketika penelitinya masih berada di Badan Litbang di kementerian/lembaga. 

Ada yang mengagetkan dan sekaligus tantangan bagi penulis ketika diminta para penulis KTI “A Cronicle” lainnya, untuk ikutan membuat surat permohonan maaf dan sekaligus mencabut artikel yang sudah terbit tersebut kepada penerbitnya dengan alasan yang tidak jelas oleh Dewan Etik, BRIN. Tentunya penulis akan menolak tegas dengan argumentasi yang logis bahwa semua saran dan rekomendasi Dewan Etik itu tidak ada dasar hukum tertulis yang dijadikan dasar.

Mereka tidak mengerti dan paham betul bahwa menulis KTI dengan jumlah penulis banyak itu, lebih baik mutunya daripada KTI yang ditulis 3-5 penulis. Ini karena KTI ditulis oleh banyak penulis menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu. Tetapi ironis dan irasional, manajemen BRIN bukan menghargai para penulis yang menggunakan berbagai disiplin ilmu, tetapi malah memberikan hukuman disiplin.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berusaha membahas kasus KTI “A Cronicle” dengan pendekatan teori dan bukti empirik, bahwa penulisan sebuah KTI itu, bukan suatu pelanggaran etika. Apalagi pantas untuk diberikan hukuman yang cukup “membagongkan” (baca: membingungkan) para penulisnya dengan hukuman disiplin yang berakhir pada penurunan nilai perilaku dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan bermuara pada pemotongan tukin.

Tulisan ini, akan menguraikan dan menjelaskan terkait argumentasi penulis, mengapa menolak untuk ikut serta meminta maaf mendukung pencabutan naskah KTI tersebut dari penerbitnya, di antaranya (1) penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen, (2) apa kaitannya antara pelanggaran etika dengan banyaknya penulis pada sebuah KTI?, (3) kekeliruan sebuah KTI harus dibuatkan sebuah KTI tandingan (counter attack) bukan dengan pendekatan kekuasaan, dan (4) dampak dari pemberian hukuman dalam penulisan dalam KTI.  

Sponsored

Penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen

Penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) baik di jurnal nasional maupun internasional adalah hak dan kewenangan serta independensi peneliti tanpa bisa dicampuri atau diintervensi oleh siapapun. Bahkan, kepala unit kerja atau pimpinan langsungnya. Hal ini sudah berlangsung turun temurun dari saat para peneliti bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di Kementerian-K/L-Lembaga (1960-2022) hingga semua para peneliti Balitbang K/L bergabung dalam wadah BRIN sejak 2022. Setelah munculnya Peraturan Presiden (Perptres) No.78 Tahun 2021 tentang BRIN.

Hak dan kewenangan peneliti dalam menulis KTI tanpa intervensi siapapun dimanifestasikan dalam proses pengusulkan angka kredit dahulu dan sekarang sebagai salah satu usulan Keluaran Kinerja Minimal (KKM) tanpa disertai dengan Surat Tugas (ST) dari kepala unit penelitinya. Peneliti hanya diharuskan membuktikan bahwa KTI itu benar-benar terbit di jurnal kredibel dan bukan jurnal predator. Serta, nama jurnal tersebut masuk dalam daftar jurnal internasional terindeks global di e-peneliti BRIN.

Pemberian sanksi etika terhadap para penulis baik di penulisan KTI di jurnal internasional (seratusan penulis) maupun di bagian buku (dua puluh penulis), kemungkinan besar dianggap menjadi strategi para peneliti untuk mensiasati kewajiban KKM yang ditetapkan BRIN dengan penulisan sebuah KTI secara beramai-ramai. Persoalan ini sebenarnya hanya muncul dan terjadi pada sebuah Pusat Riset (Pusris) tetapi tidak menjadi masalah bagi Pusris lainnya.

Jadi tindakan pemberian sanksi etika terhadap seratusan peneliti itu, merupakan sebuah tindakan yang sewenang-wenang dari manajemen BRIN. Hal tersebut terjadi kemungkinan besar disebabkan karena ketidaktahuan para manajer BRIN bahwa ada KTI dengan banyak penulis adalah hal yang wajar dan lazim di dunia ilmiah.

Filosofi KTI yang ditulis oleh banyak penulis sudah pasti kualitas dan mutu tulisannya akan lebih baik dibandingkan dengan KTI yang ditulis 1-3 penulis saja. Hal ini sesuai dengan teori science writing bahwa pendekatan “multi-displine” dalam penulisan KTI merupakan sebuah upaya lintas disiplin ilmu untuk memecahkan sebuah masalah yang kompleks yang rasanya tidak dapat dipecahkan dengan satu atau dua disiplin ilmu saja.

Ketidaktahuan manajemen BRIN itu masih bisa ditoleransi karena umumnya, pejabat struktural lebih banyak membuat keputusan. Namun jarang sekali membaca publikasi terkait dengan keputusannya. Hal ini berbanding terbaik dengan pejabat fungsional peneliti yang lebih banyak membaca publikasi tetapi tidak pernah membuat keputusan atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pejabat strukturalnya.

Dikotomi antara pejabat struktural dan fungsional bukan rahasia umum, saat para peneliti di Badan Litbang K/L itu sudah tersosialisasikan bahwa beda antara pejabat struktural dan fungsional peneliti adalah, dalam bekerja boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Namun, pejabat struktural dalam bekerja tidak boleh salah (sesuai aturan yang ada), tetapi boleh bohong.

Sebenarnya kalau mau dilakukan check and recheck pada jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi terdapat banyak KTI yang telah diterbitkan yang ditulis oleh 300 penulis, 500 penulis dan bahkan lebih dari 1000 penulis dan tidak pernah terdengar para penulis tersebut diberikan sanksi etika terhadap naskah publikasi yang diterbitkannya oleh institusi tempat mereka bekerja.

Sebagai contoh, KTI dengan judul: “Lecturers’ Understanding on Indexing Databases of SINTA, DOAJ, Google Scholar, SCOPUS, and Web of Science: A Study of Indonesians” dengan jumlah penulis sebanyak 315 penulis (Ahmar et al., 2018). KTI ini ditulis dengan total halaman sebanyak 17 halaman dengan perincian subtansi dan daftar Pustaka (11 lembar), daftar nama penulisnya (3,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (2,5 lembar).  

Contoh paper lainnya dengan penulis terbanyak pada KTI berjudul: “Combined Measurement of the Higgs Boson Mass in pp Collisions at  =7 and 8 TeV with the ATLAS and CMS Experiments dengan jumlah penulis mencapai 5.154 penulis (G. Aad et al., 2015). KTI ini secara total terdiri dari 33 halaman dengan perincian substansi dan daftar pustaka (8,5 lembar), daftar nama penulisnya (15,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (9 lembar).

Berita Lainnya
×
tekid