sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Didin Nasirudin

Kepresidenan Trump: Dari black swan ke black swan

Didin Nasirudin Selasa, 28 Apr 2020 14:49 WIB

Beberapa hari setelah Donald Trump memenangkan Pilpres AS 2016, salah satu majalah digital politik terkemuka di AS, Politico Magazine, menurunkan headline berbunyi “The Black Swan President” dengan penekanan di subjudul “Donald Trump is the biggest unknown ever to take control of the White House.”

Keberhasilan Donald Trump menduduki kursi kepresidenan Presiden AS memang merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, Trump mencalonkan diri dengan bermodalkan elektabilitas 2% menurut data FiveThirtyEight.  Dia juga bukan ‘kader’ Partai Republik, bahkan sebelumnya terdaftar sebagai anggota Partai Demokrat. Sementara lawannya rata-rata politisi Republikan kawakan yang sudah sangat dikenal pemilih. Termasuk Jeb Bush, anggota klan Bush yang sangat populer di kalangan pemilih Republik.

Selain itu, Trump memiliki reputasi moralitas yang membuatnya tidak begitu diperhitungkan di partai yang dikenal dengan mayoritas pemilih konservatif. Trump menikah tiga kali. Dia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap atau perselingkuhan dengan 25 perempuan, termasuk bintang porno Stormy Daniels dan mantan model majalah Playboy Karen McDougal.

Poling-poling yang dirilis hingga minggu terakhir minggu terakhir menjelang pilpres juga menunjukkan Trump akan kalah oleh Hillary Clinton. Menurut RealClearPolitics Trump kalah -2.1% dari Clinton secara nasional. Data poling di Swing States (negara bagian yang bisa memenangkan capres Demokrat atau Republik di pilpres) yang dikumpulkan ABCNews dan RealClearPolitics mengindikasikan hal yang sama: Trump kalah -1% hingga -2% di Florida, kalah -4% hingga -5% di Pennsylvania, kalah -6% hingga -8% di Wisconsin, dan kalah -3.6% di Michigan.

Tetapi hasil pilpres pada 8 November 2016 menunjukan hasil yang sebaliknya. Meskipun hasil akhir poling nasional yang dilansir RealClearPolitics menunjukkan Trump memang kalah -2,1% (yang dimanifestasikan dengan kalah dalam jumlah popular votes sebesar hampir 3 juta lebih), tetapi Trump menang tipis di Florida dan tiga negara bagian yang sebelumnya dikenal sebagai Blue Wall karena dari pilpres ke pilpres selalu memenangkan capres Partai Demokrat yakni Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin. Trump menang +1,2% (47,8% vs 49%) di Florida. Dia menang tipis di Blue Wall States: +0,8% (47,8% vs 47,0%) di Wisconsin; +0,2% di Michigan (47,6% vs 47,4%); dan +0,7% (48,6% vs 47,9%) di Pennsylvania. 

Tidak mengherankan jika Livescience.com menyebut kemenangan Trump di Pilpres 2016 disebut sebagai salah satu dari The 6 Strangest Presidential Elections in US History. Di samping itu, melesetnya poling-poling terkemuka menjadi salah satu blunder poling terbesar dalam sejarah politik AS yang sampai hari ini menjadi pembahasan di banyak buku dan tesis akademik.

Trump terpilih karena faktor “black swan”

Aktivitas ilegal agen-agen Rusia di internet dan sosial media yang mengarahkan para pemilih AS untuk memilih Donald Trump kerap dituding sebagai biang kekalahan Hilary Clintron di Pilpres 2020. Tetapi analisis yang mendalam menunjukkan bahwa Trump diuntungkan oleh sejumlah ‘kebetulan’ yang juga menjadi faktor ‘black swan’ yang membuatnya terpilih secara mengejutkan. 

Sponsored

Pertama, hasil poling Gallup pada minggu terakhir menjelang Pilpres 2016 menunjukkan, Hillary Clinton memiliki tingkat dukungan publik (favorability rating) yang rendah yakni hanya 47% suka dan 52% tidak mendukung. Tingkat dukungan publik terhadap Donald Trump sebenarnya lebih rendah yakni hanya 36% suka dan 61% tidak mendukung. Jadi mayoritas pemilih secara rata-rata tidak menyukai keduanya. Tetapi menurut American Perspective Survey, Trump lebih diuntungkan karena mayoritas pemilih yang menyukai Trump selalu aktif memilih (64%) dibandingkan dengan tidak menyukanya (48%); juga dari semua pemilih yang tidak menyukai Trump, hanya 77% yang kemudian memilih Clinton.

Kedua, meski tingkat dukungan terhadap Trump lebih rendah dibanding Clinton, sebagai calon penantang di pilpres melawan calon partai petahana yang sudah berkuasa dua periode, Trump diuntungkan oleh sesuatu oleh pakar politik Emory University Alan Abramowitz disebut “time for change effect”. Artinya, ketika satu partai sudah menduduki Gedung Putih selama dua periode, pemilih akan cenderung berfikir sudah waktunya memberi kesempatan pada partai oposisi. 

Ketiga, pemerintahan Obama sebagai presiden kulit hitam yang kabinetnya juga didominasi oleh menteri-menteri kalangan minoritas dan perempuan. Hanya tujuh menteri dalam kabinet Obama yang merupakan pria kulit putih, sementara 14 menteri lainnya adalah tujuh orang menteri wanita dan tujuh orang menteri pria dari kalangan minoritas. Meski AS merupakan salah satu negara paling demokratis di dunia, isu rasial sangat laku digoreng di negara yang sampai 1960-an banyak warganya memandang kaum kulit hitam sebagai warga negara kelas dua.

Keempat, pada 28 Oktorber 2016 atau 11 hari sebelum pilpres 8 November 2016, Direktur FBI James Comey mengirim surat kepada Kongres AS yang mengumumkan akan membuka kembali penyidikan terhadap Clinton terkait penggunaan server pribadi dalam komunikasi email sebagai menteri luar negeri. Ini menjadi faktor yang peling berpengaruh terhadap kekalahan Clinton.

Kelima, persaingan sengit di primary antara Clinton sebagai calon establishment Partai Demokrat dengan calon progressive Bernie Sanders telah menimbulkan perpecahan di tingkat elit dan grassroot, sehingga muncul gerakan “Berni Or Bust” dan “NeverClinton.” Dampaknya, menurut sebuah survei yang dikutip The New York Times, 12% pendukung Sanders memilih Trump, 8% memilih calon partai-ketiga dan 3% memilih golput. 

Pergeseran dukungan berdasarkan afiliasi politik, rasial dan demografis terhadap Clinton dibandingkan Obama memang tidak signifikan, tetapi kemenangan Trump di tiga negara bagian kategori blue wall yang sebelumnya memenangkan Obama memang terbilang sangat tipis. 
 

Berita Lainnya
×
tekid