close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Foto dokumentasi pribadi
icon caption
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Foto dokumentasi pribadi
Kolom
Sabtu, 26 April 2025 18:42

Mengoptimalkan pendapatan parkir untuk pembiayaan angkutan umum

Penerapan tarif parkir yang tinggi di pusat kota (zonasi) dan disertai menyediakan layanan transportasi umum yang memadai bertarif murah buat masyarakat, pasti akan menyebabkan peralihan penggunaan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
swipe

Parkir liar masih marak di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI perlu mengevaluasi dan mengaudit manajemen parkir di badan jalan. Hal ini termasuk urgensi parkir di titik-titik tertentu, termasuk keberadaan jukir (juru parkir) liarnya .

Sejumlah trotoar diokupansi oleh sepeda motor sebagai lahan parkir. Ada hak pengguna jalan lain yang dilanggar dalam parkir liar, seperti keamanan dan kenyamanan. Parkir liar di badan jalan umumnya retribusi masuk ke kantong pribadi, bukan pendapatan asli daerah. Sejumlah titik parkir dikuasai ormas, bisa jadi pada masa tertentu ada perjanjian tidak tertulis dengan kepala daerah sebagai pendukung kemenangan hingga terpilih.

Data pendapatan parkir di Jakarta. Foto: Unit Pengelola Perpakiran Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta

Bersumber dari Unit Pengelola Perpakiran Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, pendapatan mengalami masa pasang surut. Selama 10 tahun terakhir, tertinggi di 2017 sebesar Rp107, 898 miliar. Pada 2014 sebesar Rp26,781 miliar, 2015 (Rp39,22 miliar), 2016 (Rp52,387 miliar), 2017 (Rp107,898 miliar), 2018 (Rp104,557), 2019 (Rp83,615 miliar), 2020 (Rp49,963 miliar), 2021 (Rp42,431 miliar), 2022 (Rp51,343 miliar), 2023 (Rp57,449 miliar), 2024 (Rp57,220 miliar), dan hingga Maret 2025 (Rp13,738 miliar).

Saat ini, Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta hanya melaksanakan pengelolaan parkir bukan di tepi jalan (off street parking) di 69 lokasi (11 persen) dari 615 lokasi parkir yang ada. Parkir off street berupa kantor pemerintah, gedung parkir, pelataran parkir, terminal, pasar, dan lain-lain.

Parkir off street adalah parkir yang lokasinya tidak berada di bahu jalan, melainkan di tempat parkir khusus seperti gedung parkir atau taman parkir. Parkir ini dikelola secara profesional dan tidak mengganggu lalu lintas jalan

Kebutuhan layanan perparkiran yang tinggi di Jakarta belum dibarengi dengan penyediaan fasilitas parkir yang memadai. Itu disebabkan beberapa hal, seperti kebijakan pembatasan atau pengurangan jumlah ruang parkir secara bertahap, keterbatasan lahan, keterbatasan anggaran pembangunan fasilitas parkir, serta dampak revitalisasi trotoar.

Kendaraan parkir liar sudah dilakukan penindakan. Untuk roda tiga dan roda empat diderek dan operasi cabut pentil. Kendaraan kemudian dipindahkan ke tempat penyimpanan seperti di IRTI atau kantor suku dinas perhubungan hub di lima wilayah. 

Sementara untuk roda dua, diangkut dengan truk atau dilakukan operasi cabut pentil. Kendaraan lalu dibawa ke tempat penyimpanan kendaraan dan pemilik dikenai tilang oleh polisi. Pemilik juga dikenai sanksi denda Rp500.000 per hari. 

Namun belum memberikan efek jera, masih tetap saja ada aktivitas parkir di tepi jalan yang sudah diberi rambu dilarang parkir. Namun tidak sedikit masih melakukannya di lokasi yang sama ketika petugas sedang tidak berada mengawasi.

Kompensasi politik

Masalah pengelolaan parkir bukan hanya soal kolekting uangnya dan kebocoran semata. Namun, parkir belum dikelola sebagai alat dukung atau instrumen untuk memecahkan masalah kemacetan dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi secara berlebihan. Seolah-olah, ada pembiaran praktik pengelolaan parkir seperti sekarang, karena sudah nyaman dengan kondisi seperti ini. Tak mengherankan jika perparkiran hampir di sejumlah daerah telah menjadi komoditas kompensasi politik para penguasa daerah.

Mulanya, parkir dianggap sebagai pelayanan publik yang mesti disediakan pemerintah kepada pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermesin. Akibat makin banyaknya populasi kendaraan pribadi dan juga makin termanjakan, melupakan hak pengguna jalan lain, terutama angkutan umum, pesepeda dan pejalan kaki. Bahkan, ketika terdapat rambu Larangan Parkir, para pemilik kendaraan itu tetap saja acuh dan tak menghiraukan terganggunya kepentingan publik yang menyebabkan menurunkan kapasitas jalan.

Pengelolaan parkir bukan untuk memanjakan dan memudahkan para pengguna kendaraan bermotor. Penetapan tarif parkir tinggi adalah untuk menekan penggunaan kendaraan bermotor. Mengurangi secara signifikan parkir di tepi jalan bagi yang menyebabkan kemacetan jalan raya.

Persoalan parkir tiap saat selalu menjadi komoditas berita yang tiada akhir. Persoalannya berkutat pada tingginya kebocoran penerimaan retribusi parkir, tak maksimalnya target dari pendapatan retribusi, tingginya intensitas penggunaan parkir di tepi jalan, kurang optimumnya pelayanan jasa parkir terhadap pengguna jasa parkir, banyaknya aktivitas parkir liar. 

Dikelola dengan benar

Sesungguhnya, parkir dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu sebagai bagian manajemen lalu lintas (traffic management) yang merupakan sub sistem transportasi, sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan layanan publik. Memadukan ketiga hal itu adalah cara terbaik untuk menuntaskan persoalan parkir yang tak kunjung usai. Juga mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi, sehingga tarif parkir dapat dinaikan beberapa kali lipat.

Sekarang, sulit menemui ada bukti secarik kertas sebagai bukti telah membayar parkir di tepi jalan. Perlu mengoptimalkan pengelolaan parkir supaya menjadi salah satu sumber pembiayaan angkutan umum. Semua pendapatan dari restribusi parkir masuk ke kas daerah dan selanjutnya dibagi untuk urusan operasioanal (menggaji juru parkir dan pengawasan, pembinaan rutin, iuran asuransi, pembelian baju seragam dan lain-lain), sisanya diatur ada yang masuk ke pembiayaan angkutan umum.

Juru parkir mendapat gaji bulanan sesuai UMR, mendapat BPJS beserta keluarganya. Ada pembinaan rutin setiap bulan dan pengawasan terhadap juru parkir.

Kebijakan parkir yang dapat mengubah secara drastis adalah parkir berlangganan dan zonasi. Makin ke pusat kota tarif parkir makin mahal dan lahan parkir semakin berkurang (warga diarahkan beralih menggunakan angkutan umum). Parkir berlangganan bisa mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Petugas parkir tak perlu menyetor, namun mendapat gaji tetap setiap bulan. 

Tak adanya sentuhan langsung pemberian uang menghilangkan praktik pungutan liar. Memang ada yang dirugikan, yakni pihak-pihak yang selama ini menguasai areal parkir, karena kompensasi dari sang penguasa. Demi menata transportasi kota yang lebih baik, pemimpin (kepala daerah) harus berani mengambil kebijakan yang tak populis sesaat. Tetapi selanjutnya akan membuat transportasi lebih teratur dan tertata.

Jika dikelola dengan benar, parkir dapat membantu mengurangi kemacetan lalu lintas. Penerapan tarif parkir yang tinggi di pusat kota (zonasi) dan disertai menyediakan layanan transportasi umum yang memadai bertarif murah buat masyarakat, pasti akan menyebabkan peralihan penggunaan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Sekarang saatnya optimalisasi mengelola parkir menjadi salah satu sumber pembiayaan angkutan umum di daerah. Selain juga menata manajemen lalu lintas perkotaan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus bisa mengoptimalkan potensi parkir di tepi jalan. Jika berhasil akan ditiru banyak daerah nantinya.

img
Djoko Setijowarno
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan