close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Khudori
icon caption
Khudori
Kolom
Senin, 15 Agustus 2022 17:33

PR inflasi pangan

Diakui atau tidak, selama satu dekade terakhir penurunan angka kemiskinan yang amat lambat salah satunya karena inflasi pangan masih tinggi.
swipe

Bank Indonesia (BI) dalam rapat 20-21 Juli 2022 mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50%. Padahal, inflasi tahunan (total) sampai Juni 2022 sudah mencapai 4,35%, lebih tinggi dari batas atas dan suku bunga kebijakan BI yang dipatok 3,5%. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir. Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi inti, yang masih rendah. Hanya 2,63%. Inflasi inti adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten. Tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif, seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun). 

Komponen inflasi inti memang rendah. Sebaliknya, inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) sudah mencapai 5,33%. Bahkan, inflasi pangan (volatile foods) menembus 10,07%. Kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuan sepertinya bias inflasi inti. Padahal, selama bertahun-tahun inflasi inti relatif terkendali. Juga inflasi komponen administered prices. Setahun ini inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah lumayan tinggi karena ada penyesuaian harga beberapa komoditas strategis kebutuhan rakyat, seperti BBM, LPG, dan listrik untuk menekan beban fiskal.

Besarnya andil inflasi pangan juga terbaca dari inflasi pada 2022. Dari (total) inflasi tahun berjalan (Januari-Juli) 3,85% andil inflasi inti hanya 2,11%. Sedangkan andil komponen administered prices dan volatile foods masing-masing mencapai 5,13% dan 9,24%. Khusus Juli 2022, inflasi mencapai 0,64%. Inflasi pangan tinggi di Juli disumbang sejumlah komoditas, seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras. Ada pula sumbangan pangan asal impor: terigu, gula, dan kedelai. 
Inflasi pangan yang tinggi menjadi mimpi buruk bagi warga mikin.

Di satu sisi, inflasi naik didorong oleh kenaikan harga pangan. Di sisi lain, kemampuan memenuhi kebutuhan pangan menjadi indikator utama penentuan garis kemiskinan. Ujung dari ini, kenaikan laju inflasi akan menyundul batas garis kemiskinan. Implikasinya, inflasi yang tinggi, terutama yang didorong oleh inflasi pangan, tidak hanya membuat warga yang ada di dalam di garis kemiskinan semakin miskin. Warga yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan pun akan turun kelas: dari tidak miskin menjadi golongan miskin.

Diakui atau tidak, selama satu dekade terakhir penurunan angka kemiskinan yang amat lambat salah satunya karena inflasi pangan masih tinggi. Pada September 2012, jumlah orang miskin mencapai 28,71 (11,66%). Jumlah ini turun jadi 26,16 juta (9,54%) pada Maret 2022. Artinya, sepanjang hampir 10 tahun jumlah orang miskin hanya turun 2,55 juta. Ini penurunan yang kecil. Jumlah orang miskin tidak turun signifikan salah satunya karena pola pengeluaran rumah tangga masih dominan pangan: 74,08% dari pengeluaran rumah tangga pada Maret 2022. Hanya 25,92% pengeluan nonmakanan.

Implikasi dari kondisi ini, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses pangan warga, terutama yang miskin, tetap terjaga. Mereka-mereka yang posisinya hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan sontak bakal jatuh miskin manakala harga pangan naik dan jauh dari kemampuan daya beli. Naik-turunnya harga pangan akan berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin. Tentu ini bukan wilayah BI. Tetapi, sebagai otoritas penjaga inflasi BI bisa mendorong pemerintah agar serius mengurus pangan. Kala pasokan-permintaan terjaga, fluktuasi terjaga dan inflasi pangan terkendali. 

Jika ditarik jauh ke belakang, inflasi pangan memang jauh dari selesai. Ini tampak dari porsi inflasi pangan dalam inflasi total yang masih besar, setidaknya 9 tahun terakhir. Pada 2014 andil pangan baru 40,31% dari inflasi nasional 8,36%. Namun, pada 2015 andil pangan pada inflasi naik jadi 61,19% dari inflasi 3,35%, dan naik lagi jadi 70,1% dari inflasi 3,01% pada 2016. Khusus 2017, andil pangan hanya 26% dari inflasi 3,61%. Setelah itu, andil inflasi pangan kembali naik: 43% dari 3,13% (2018), 56% dari 2,72% (2019), 54% dari 1,68% (2020), dan 42,24% dari 1,87% (2021). Ini menandai instabilitas harga pangan, baik harga tiba-tiba naik tinggi atau turun tajam, masih menjadi persoalan. 

Jika ditelisik lebih mendalam, komoditas-komoditas pangan penyumbang inflasi mulai terjadi pergeseran. Rentang 2014-2018, posisi beras sebagai penyumbang inflasi mendominasi. Dari 11 komoditas pangan, dalam 5 tahun itu beras bersama daging ayam ras, ikan segar, dan mie menjadi penyumbang inflasi 4 kali, disusul telur ayam dan bawang merah (3x), cabai merah, cabai rawit, minyak goreng dan gula pasir (2x), dan bawang putih (1x). Posisi beras pun di urutan penting: 1-3 kontributor inflasi terbesar. 

Tiga tahun terakhir (2019-2021), hanya pada 2020 beras jadi penyumbang inflasi pangan. Itu pun di posisi minor: 15 dari 20 komoditas. Sebaliknya, peran cabai (merah dan rawit), minyak goreng, bawang (merah dan putih), ikan segar, dan telur serta daging ayam mendominasi. Di satu sisi, pergeseran peran superior beras dalam inflasi oleh komoditas pangan lain patut disyukuri. Sebab, dari 13 komoditas penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras amat dominan: 21,21% dari pengeluaran rumah tangga miskin. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti jumlah orang miskin naik juga. Di sisi lain, pergeseran ini tidak berarti apa-apa manakala harga pangan lain tetap fluktuatif. Artinya, inflasi pangan masih jadi PR yang jauh dari selesai para pemangku kepentingan.

img
Khudori
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan