close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi. Istimewa
icon caption
ilustrasi. Istimewa
Media
Minggu, 03 April 2022 17:15

Bukan koran atau radio, media mainstream: Google, medsos, dan niaga digital

Google dkk sebelumnya hanya dikenal sebagai perusahaan teknologi. Tapi dalam praktik sebenarnya adalah perusahaan media.
swipe

Pelbagai riset mutakhir di ranah media membuktikan bahwa media massa berbentuk surat kabar, majalah, koran, radio, dan televisi tidak lagi bisa dikatakan media arus utama (mainstream). Tapi semua itu telah disebut sebagai media konvensional atau media tradisional. Karena yang arus utama bukan itu lagi.

Karena opini masyarakat saat ini bukan yang paling dipengaruhi surat kabar, majalah, koran, radio, dan televisi. Dengan kata lain, yang mendapatkan iklan paling besar bukan media konvesional lagi.

Iklan terbesar dikeruk platform media sosial dengan berbagai varian seperti Facebook, Youtube, dan lainnya. Iklan raksasa ditambang mesin pencari (search engine) seperti Google, Bing, dan sebagainya. Juga oleh news aggregator dan e-commerce (perniagaan digital) seperti Tokopedia, Bukalapak, Amazon, dan lainnya.

Ini menarik, karena Google dkk sebelumnya hanya dikenal sebagai perusahaan teknologi. Tapi dalam praktik sebenarnya adalah perusahaan media. Karena 88 persen pendapatan Google dan 95 persen pendapatan Facebook, itu dari iklan. Seperti layaknya media massa.

"Mereka hidupnya dari iklan, yang mereka lakukan adalah komersialisasi berita atau informasi. Bedanya berita atau informasi yang dikomersialisasikan oleh Google dan Facebook bukan mereka sendiri yang membuatnya. Sementara kalau media massa mengomersialkan konten yang dibikin sendiri," kata Agus Sudibyo, Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga di Dewan Pers.

Fenomena tersebut sejalan hadirnya internet yang mengubah semua aspek sendi-sendi kehidupan di segala bidang mulai dari ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan keamanan. Semua tidak lagi bisa lepas dari internet. Bahkan di seluruh pelosok dunia, selama ada internet, orang tetap akan bisa berhubungan satu sama lain.

Itu tidak terlepas juga dari dunia jurnalistik di dunia. Mengikuti perkembangan zaman, beradaptasi dengan perubahan, adalah sebuah keniscayaan. Dalam dunia jurnalistik dahulu dikenal wartawan menyampaikan informasi dan membuat berita setelah kejadian atau membuat berita sesuatu yang telah terjadi. Tapi saat ini mau tidak mau satu liputan harus melaporkan sesuatu yang sedang terjadi, yang update, yang real-time. Tapi sayangnya itu bukan milik seorang jurnalis semata.

Tentu media sosial membuat masyarakat pun kini menjadi jurnalis atau citizen journalist. Namun, wartawan tentu tidak ingin posisinya sebagai jurnalis yang mempunyai kelebihan atau sesuatu yang harus dibanggakan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan berdemokrasi, boleh kalah dari jurnalis warga. Wartawan harus terus beradaptasi, menyampaikan berita yang terjadi, bukan itu saja. Namun harus juga menyampaikan sesuatu yang memberi makna.

Dari lanskap kehidupan media yang telah berubah seperti itu, Agus Sudibyo kemudian menyampaikan perspektif untuk melihat bagaimana tantangan yang dihadapi oleh media dan wartawan di Indonesia di era digital.

"Masa depan pers Indonesia salah satunya tergantung pada kemampuan para wartawan untuk menghindari hoaks, tidak ikut-ikutan media sosial, dalam menyebarkan informasi-informasi yang tidak jelas, fakta atau bukan, benar atau salah, dan justru sebaliknya lebih banyak membingungkan, meresahkan masyarakat," kata Agus memaparkan materi 'Jurnalisme Tanpa Hoaks: Masa Depan Pers Indonesia.

Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga di Dewan Pers itu berbicara dalam webinar "Cerdas Berdemokrasi: Tantangan Jurnalistik di Era Digital" yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika di RRI Jayapura, Papua, Selasa (29/3)

Menurut Agus, problem pers Indonesia ialah menghadapi tekanan ganda atau krisis ganda. Pertama, krisis karena pandemi Covid-19, yang memukul kehidupan ekonomi semua negara termasuk Indonesia. Ketika krisis ekonomi terjadi, dengan sendirinya belanja iklan, pendapatan media juga terkoreksi. Ketika pendapatan media terkoreksi, maka kesejahteraan wartawan juga terdampak. Semua menghadapi krisis, dan tidak tahu sampai kapan krisis ini akan berlangsung.

"Mudah-mudahan keadaan pandemi benar-benar semakin membaik seperti yang terjadi dalam sebulan terakhir ini. Tapi kita tidak pernah tahu," cetus Agus, yang juga mengajar di Pascasarjana Universitas Indonesia.

Diuraikannya, ahli epidemiologi masih belum bisa memastikan apakah tahun 2022 lebih baik dari 2021 terkait dengan persebaran Covid-19 dan munculnya varian-varian yang lebih lemah. Seperti Omicron ini lebih lemah dari Delta. "Mudah-mudahan tidak muncul varian baru, kalaupun muncul varian baru, lebih lemah dan lebih lemah lagi, sehingga akan menjadi seperti flu biasa," sambung Agus mengharapnya begitu, karena kehidupan media sangat tergantung pada keadaan ekonomi.

Tekanan media berikutnya adalah disrupsi digital. Ini tekanan yang sudah muncul sebelum pandemi dan semakin marak karena ada pandemi, jadi istilahnya double strike, dua tekanan sekaligus menghantam industri media nasional.

Katanya, tahun 2021 banyak media massa yang mem-PHK wartawannya. Wartawan di-PHK, kehilangan pekerjaan. Krisis itu memukul betul daya hidup pers nasional. Semua media mengeluhkan pendapatan iklan menurun, oplah juga menurun. Media online itu menarik dan penonton televisi naik, tapi iklannya tidak. Karena pembatasan sosial membuat orang di rumah terus, penonton TV jadi lebih banyak, mereka membaca berita secara online. Tapi itu tidak mengangkat pendapatan.

"Dalam konteks digitalisasi, kira-kira ini yang kita hadapi sekarang. Bahwa kehidupan media massa tidak pernah terlepas dari proses transformasi digital yang terjadi di semua bidang. Jadi industri media hari ini tidak terlepas dari perkembangan positif maupun negatif," seru Agus.

Dipaparkannya, fenomena internet posting, big data, cloud computing, pengarusutamaan Artificial Intelligence (AI), machine learning (mesin pembelajaran), dan lainnya. Jadi industri media hari ini ditentukan oleh faktor-faktor ekstrenal, yaitu faktor-faktor transformasi digital di semua bidang.

"Jadi kalau kita sekarang membicarakan media mainstream, kira-kira siapa media mainstream itu? Media mainstream bukan televisi, surat kabar, juga bukan media online cyber, juga bukan itu. Media mainstream hari ini adalah trilogi new media: media sosial, mesin pencari (search engine), dan e-commerce. Merekalah media mainstream hari ini secara global," ujarnya.

Agus menuturkan, di Indonesia, media televisi masih lebih besar pendapatannya, tapi dalam lima tahun ke depan diperkirakan mengecil juga.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan