sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kaburnya definisi radikalisme dan deradikalisasi setengah hati di 2020

Upaya deradikalisasi yang digalakkan pemerintah dinilai tak jelas dan tak akan tepat sasaran.

Ayu mumpuni Akbar Ridwan
Ayu mumpuni | Akbar Ridwan Kamis, 09 Jan 2020 04:29 WIB
Kaburnya definisi radikalisme dan deradikalisasi setengah hati di 2020

Upaya deradikalisasi menjadi salah satu program yang mendapat sorotan pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Tugas yang sebelumnya menjadi fokus Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, kini digarap sejumlah kementerian dan lembaga lain.

Saat ini, sasaran deradikaliasasi memang melebar dari fokus yang selama ini dikerjakan BNPT, hingga ke masyarakat luas, termasuk aparatur sipil negara atau ASN. Hal ini tak terlepas dari terendusnya sejumlah ASN yang terpapar radikalisme.

"Keseriusan" pemerintahan Jokowi melakukan deradikalisasi pada ASN, tampak dengan pengangkatan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Tito yang mantan Kapolri, adalah juga mantan Kepala BNPT dan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan terorisme di Indonesia.

Selain itu, upaya tersebut juga tercermin dari penerbitan surat keputusan bersama atau SKB Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara yang ditandatangani 11 pimpinan kementerian dan lembaga pada November 2019 lalu.

Hal ini semakin menegaskan pergeseran definisi radikalisme dan deradikalisasi sebagaimana ditangani BNPT sebelumnya. Selama ini radikalisme merujuk pada teroris atau terorisme. Adapun upaya deradikalisasi yang dilakukan BNPT, merujuk pada UU Nomor 15 Tahun 2003 yang diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Dalam pasal 43D UU tersebut, deradikalisasi hanya ditujukan kepada "tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, dan orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme". Namun, pemerintah tak juga menyediakan definisi yang jelas terhadap radikalisme, sehingga deradikalisasi yang dilakukan juga berpotensi tak tentu arah.

Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) menilai SKB 11 Menteri bermasalah, karena tak merinci istilah radikalisme yang dimaksud dan indikator apa yang digunakan untuk menilai seseorang radikal atau tidak.

"Karena dia tidak menjabarkan lebih jelas, apa yang dimaksud dengan radikalisme, terus juga indikatornya apa. Kalau begitu ya berpotensi sewenang-wenang," kata pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rasyid Ridha Saragih, yang tergabung dalam KBB saat dihubungi jurnalis Alinea.id dari Bogor, Jawa Barat pekan lalu.

Sponsored

Menurutnya, potensi kesewenang-wenangan bisa membungkam kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berpikir di kalangan ASN atau masyarakat. Lebih jauh, dalam konteks kebebasan berpikir itu termasuk hak asasi manusia yang tidak bisa ditangguhkan dalam kondisi apa pun.

"Jadi kalau misalnya, ini dalam konteks ASN itu diterapkan dengan enggak ada batasan yang jelas, definisi enggak jelas, itu bisa menimbulkan conflict of interest, bisa saja atasan mencari kesalahan bawahan," ucap dia.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI, Jimly Asshiddiqie berharap, implementasi keputusan itu tidak kebablasan seperti Penelitian Khusus alias Litsus di Orde Baru. Untuk itu, dia mendorong adanya pengawasan ketat dalam penerapan kebijakan tersebut.

"Tapi bisa kebablasan seperti Litsus di zaman Orba terhadap anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Kita mesti belajar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Niatnya baik, tapi teknisnya di lapangan perlu diawasi dengan ketat, supaya tidak kebablasan dan melanggar HAM," ucapnya.

Untuk diketahui, Litsus merupakan jurus pemerintahan saat itu untuk menjaring orang-orang yang terhubung dengan PKI, baik secara langsung atau tidak. Secara umum, Litsus dibagi dua, yaitu bersih diri dan bersih lingkungan. Setiap orang yang ingin menjadi PNS atau bekerja di lembaga pemerintah wajib mengikuti Litsus.

Berita Lainnya
×
tekid