sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenapa tak ada learning loss di Bukittinggi?

Berbeda dengan lazimnya yang terjadi di seluruh Indonesia, kemampuan belajar siswa di Bukittinggi relatif tak terdisrupsi pandemi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 11 Jan 2022 13:30 WIB
Kenapa tak ada <i>learning loss</i> di Bukittinggi?

Sisselynia Sania, 37 tahun, seolah tak pernah bisa mencopot "pakaian dinasnya." Rampung menuntaskan pekerjaannya sebagai guru di sebuah sekolah luar biasa (SLB), Sania melanjutkan tugasnya mendidik anak-anak di rumah. Sepanjang pandemi, rutinitas itu dilakoni perempuan yang tinggal di Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat, itu. 

"Saya akui agak sulit peran saya. Anak saya mesti didampingi sementara saya juga harus bekerja untuk memberikan (materi bagi) siswa saya di sekolah. Tapi, saya semaksimal mungkin akan mendampingi anak saya ketika ada tugas," ucap Sania saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (5/1). 

Sania punya dua anak yang mesti didampingi di rumah. Yang satu masih duduk di bangku kelas 2 SD, lainnya sudah duduk di kelas 5 SD. Yang paling kecil terutama paling sulit dibujuk untuk berhenti bermain dan menyisihkan waktu untuk belajar. 

"Kalau untuk anak saya yang kecil memang kerja keras. Tapi, untuk yang kelas 5 agak mending. Gurunya juga rutin untuk memberi materi saat pembelajaran jarak jauh. Kalau anak saya yang kelas 5, biasanya untuk soal Matematika saja itu dia minta didampingi," tutur Sania.

Pemerintah memang memberlakukan PJJ sebagai metode belajar-mengajar selama pandemi Covid-19 berlangsung. Baru setelah jumlah kasus positif Covid-19 menurun signifikan pada akhir 2021 dan awal 2022, sekolah tatap muka kembali diberlakukan sepenuhnya di sejumlah daerah. 

PJJ, kata Sania, tentu saja tak ideal. Sebagai seorang guru, ia paham para peserta didik masih butuh bertemu langsung dan berinteraksi dengan guru mereka. Siswa yang masih duduk di kelas 1 dan 2 terutama bakal sulit untuk diminta belajar mandiri. 
 
"Anak kelas 1 mestinya harus belajar tatap muka sebenarnya. Mereka harus bisa belajar membaca, belajar berhitung dari gurunya. Waktu kelas 1, anak saya masih kesulitan untuk membaca dan berhitung. Karena itu, saya kerja keras supaya mereka bisa paham dan mengerti," ujar Sania.

Tanpa bimbingan yang intensif, menurut Sania, sulit bagi anak-anak yang masih duduk di kelas 1 dan 2 SD untuk meraih kompetensi layaknya saat dididik langsung oleh para guru di sekolah. Selama PJJ, anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua mereka hampir pasti kehilangan kemampuan akademik (learning loss). 

Khusus di Bukittinggi, Sania mengungkapkan, learning loss adalah momok yang menakutkan bagi para orangtua. Pasalnya, persaingan akademik antara murid di kota itu tergolong sengit. Sekolah-sekolah berkualitas di Bukittinggi bahkan diincar oleh siswa-siswa dari luar daerah. 

Sponsored

"Banyak orang dari luar Bukittinggi, seperti dari Kabupaten Agam itu, sekolahnya di Bukittinggi karena bagus. Jadi, karena kompetisi yang tinggi soal pendidikan itu yang membuat orang tua siswa saling support anak supaya anak tidak ketertinggalan dengan yang lain," ucap Sania. 

Ikhtiar serupa juga dilakukan Yanti, warga Aur Birugo Tigo Baleh, Bukittinggi, Sumatera Barat. Selama PJJ diberlakukan, Yanti menyisihkan sekitar dua jam waktunya setiap hari untuk mengajar anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. 

"Sekolah minta tolong bantu karena sekolah tidak bisa menyentuh sepenuhnya. Namanya juga enggak ada bimbingan dari guru. Kalau kita enggak ngerti, kita WA (Whatsapp) gurunya," ujar Yanti saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (6/1). 

Upaya Yanti sejak awal pandemi itu berbuah manis. Alih-alih mengalami learning loss, kemampuan numerik dan literasi anak-anak Yanti justru meningkat signifikan selama PJJ. 

"Secara nilai, meningkat. Tapi, (membantu anak-anak belajar) di rumah itu kadang menguras emosi memang. Jadi, orang tua yang harus lebih sabar," tutur perempuan berusia 47 tahun itu. 

Sebagaimana diungkap Sania, Yanti membenarkan kompetisi akademik di Bukittinggi cukup sengit. Dipicu budaya bersaing mengejar prestasi, para orang tua murid rela mengorbankan banyak waktu dan biaya untuk meningkatkan kompetensi anak-anak mereka selama PJJ.

"Karena hal itu saya kadang-kadang sampai harus cari soal untuk latihan anak. Kalau dirasa kurang dari sekolah, kita cari-cari soal dari internet. Terkadang kita nanya wali kelasnya, 'Ada contoh soal yang bisa dipelajari enggak?'," ujar Yanti.

Meski berkompetisi, Yanti mengaku sinergi antar orang tua di tempat anaknya bersekolah berjalan cukup baik. Tak jarang antar orang tua murid saling berbagi solusi untuk memecahkan aneka masalah yang muncul selama pembelajaran jarak jauh. 

"Saya sering konsultasi kalau menghadapi kesulitan materi dan sebagainya. Kami ada grup sekolah. Kami saling berbagi, bercerita gimana masing-masing anaknya. Jadi, memang saya sadar pendampingan itu penting dalam pembelajaran jarak jauh," kata Yanti.

Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4). /Foto Antara

Mengagungkan pendidikan

Kejanggalan situasi dunia pendidikan tingkat sekolah dasar di Bukittinggi terpotret dalam riset SMERU yang dirilis pertengahan tahun lalu. Dalam kajian berbasis survei itu, SMERU menemukan tidak ada learning loss yang dialami murid-murid SD yang bersekolah di kota tersebut. 

Peneliti SMERU Luhur Bima mengungkapkan learning loss tidak terjadi di Bukittinggi lantaran sebagian besar orang tua berhasil menopang pendidikan anak-anaknya saat PJJ. Salah satu penyebabnya karena warga Bukittinggi mengagungkan pendidikan sebagai hal pokok yang harus dijaga kualitasnya. 

"Ada kebiasaan dan pride masyarakat yang mendorong orang untuk selalu bersaing menjadi yang terbaik. Hal ini menyebabkan masyarakat Bukittinggi cenderung mengalokasikan resources mereka relatif lebih tinggi dibanding masyarakat di daerah lain terkait pendidikan anak, terlepas dari kondisi sosial-ekonomi masing-masing keluarga," kata Luhur kepada Alinea.id, Senin (3/1).

Dalam risetnya, SMERU melibatkan 1300 responden orang tua siswa dari jenjang kelas 1 hingga kelas 5 SD. Yang diukur aspek numerasi dan literasi. Capaian kedua aspek itu kemudian dibandingkan dengan capaian anak-anak SD di Bukittinggi sebelum pandemi. Hasilnya, tidak terlihat penurunan kemampuan belajar di kalangan siswa. 

"Hasil yang berbeda kemungkinan akan terlihat di jenjang lebih tinggi, misalnya SMP, di mana sebagian besar orang tua cenderung tidak memiliki kapasitas untuk mendampingi dan membantu anak memahami materi belajar," kata Luhur.

Hasil riset SMERU menunjukkan sebanyak 93% orang tua turut mendampingi anak-anaknya belajar selama pandemi Covid-19. Sebanyak 81% siswa tetap belajar selama 6 hari dalam sepekan. Di lain hal, SMERU juga menemukan mayoritas siswa tidak berkomunikasi intensif dengan guru. 

Temuan itu, kata Luhur, menunjukkan bahwa orang tua-orang tua di Bukittinggi tidak sepenuhnya menggantungkan nasib pendidikan anaknya kepada sekolah. Selama PJJ, mereka bisa aktif berkreasi menopang pendidikan anaknya meskipun sentuhan dari guru minim. 

"Pendidikan anak bukan lagi menjadi tanggung jawab sekolah atau guru semata. Tetapi, harus ada partisipasi aktif dari orang-orang sekitar lingkungan terdekat anak-anak. Kesadaran orang tua untuk terlibat aktif dalam pendidikan anak itu penting. Jadi, bukan hanya sekadar mengirim anak ke sekolah," cetus Luhur.

Yang terjadi di Bukittinggi kontradiktif dengan hasil riset Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dari survei terhadap 3.391 siswa SD di 7 kabupaten dan kota di empat provinsi pada periode Januari 2020 dan April 2021, Kemendikbudristek menemukan terjadi learning loss yang cukup signifikan di kalangan siswa tingkat terendah.  

Sebelum pandemi, kemajuan belajar selama satu tahun (kelas 1 SD) adalah sebesar 129 poin untuk literasi dan 78 poin untuk numerasi. Setelah pandemi, learning loss untuk literasi terukur setara dengan 6 bulan masa belajar. Untuk numerasi, learning loss setara dengan 5 bulan masa belajar. 

Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih mengatakan bakal mendalami hasil riset SMERU terkait learning loss di Bukittinggi. Fenomena pendidikan di kota itu, kata dia, perlu dikaji terlebih dahulu sebelum direplikasi di daerah lain. 

"Apakah itu merata di seluruh sekolah Bukittinggi? Kami bakal mendalami implementasi tri pusat pendidikan. Bagaimana kolaborasi peran orang tua dan peran sekolah, guru, masyarakat pendukung di sekitarnya, serta peserta didik itu sendiri," ucap Sri kepada Alinea.id, Rabu(5/1).

Menurut Sri, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan learning loss. Ironisnya, pendampingan oleh orang tua yang berlebihan juga berpengaruh terhadap berkurangnya kemampuan siswa dalam belajar selama PJJ. 

"Kita tahu tingkat pendidikan orang tua serta tingkat ekonomi juga sangat berperan dalam mendampingi putra-putrinya untuk belajar di rumah. Tingkat ekonomi di Bukittinggi juga beragam, kami perlu waktu untuk mengenali lagi apa maksudnya," ujar Sri.

Sri mengaku belum tahu kapan bakal terjun ke Bukittinggi karena masih harus mengawasi pembelajaran tatap muka yang mulai bergulir di awal tahun. Namun, ia menilai praktik-praktik baik di dunia pendidikan sebagaimana yang terjadi di Bukittinggi--jika riset SMERU terbukti akurat--perlu direplikasi. 

"Pola tersebut patut dilanjutkan dan menjadi percontohan daerah lain. Untuk mengejar ketertinggalan saat pandemi peran serta masyarakat orang tua dan sekolah dalam rangka serentak bergerak kan kita tetap harus lanjutkan praktik baik yang ada banyak tempat," ucap Sri.

Ilustrasi uji coba sekolah tatap muka. /Foto Antara

Pro-kontra peran orang tua

Pengamat pendidikan Andreas Tambah menilai potret positif pendidikan yang terjadi di Bukittinggi perlu dicontoh daerah lain. Hasil riset SMERU, kata dia, menggambarkan bila kualitas pendidikan para murid bisa terjaga meskipun tidak harus bertumpu pada sekolah formal.

"Saya sangat mengapresiasi masyarakat Bukittinggi yang sangat berperan dalam hal pendampingan sehingga (para siswa) tidak mengalami learning loss di sana," ucap Andreas kepada Alinea.id, Senin (3/1).

Ia menyebut selama ini dunia pendidikan di Indonesia terlalu memberi beban berlebih kepada sekolah untuk meningkatkan prestasi akademik siswa. Padahal, perlu kontribusi banyak pihak untuk membuat pendidikan menjadi berkualitas.

"Sebenarnya, ini yang saya pengin. Jadi, orang tua dan masyarakat itu tidak hanya mengandalkan sekolah dasar. Tetapi, ditunjang juga pendidikan di lingkungannya. Saya berpikir kalau di Bukittinggi saja bisa kenapa daerah lain enggak bisa?" ujar Andreas.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Pendapat berbeda diutarakan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Menurut dia, hasil riset yang menunjukkan tidak terjadinya learning loss di kalangan siswa SD di Bukittinggi perlu diperdalam. 

Ia juga mempertanyakan hasil riset yang cenderung menyimpulkan peran orang tua sebagai faktor yang paling berjasa mencegah learning loss. Pasalnya, ada banyak variabel yang turut mempengaruhi kualitas PJJ dan hitung-hitungan learning loss

"Ada infrastruktur, ada variabel akses, ada variabel guru. Ada variabel metode yang digunakan oleh guru. Baru ada variabel orang tua. Dari mana kita bisa menyimpulkan satu variabel mutlak mempengaruhi hasil literasi yang tinggi?" ujar Satriwan kepada Alinea.id, Senin (3/1). 

Satriawan pun skeptis bila peran orang tua selama PJJ digambarkan efektif mendongkrak kualitas pendidikan di Bukittinggi. Menurut dia, hal itu justru mengerdilkan peran sekolah dan Kemendikbudristek sebagai otoritas pendidikan.

"Belum lagi (hasil riset SMERU menunjukkan) lebih efektif di rumah ketimbang sekolah formal. Nah, itu bunuh diri juga. Kemendikbudristek berarti gagal dalam mendidik siswa selama ini dalam hal literasi dan numerasi," ucap Satriwan. 

Satriwan menyarankan agar hasil riset SMERU dielaborasi lebih jauh sebelum direplikasi di tempat lain. "Peran orang tua di Bukittinggi ini mesti diurai. Apakah dia memberikan pendampingan atau bahkan memberi tahu jawaban. Nah, ini harus jujur," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid