sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Meredam kekerasan dan perundungan di sekolah

Belakangan ini, marak lagi kasus perundungan dan kekerasan di sekolah. Salah satunya terjadi di sebuah SMP di Cilacap, Jawa Tengah.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 13 Okt 2023 14:03 WIB
Meredam kekerasan dan perundungan di sekolah

Sehari-hari, sebagai seorang guru sekolah dasar, Aris Munandar selalu berusaha tampil bersahabat dengan para siswa. Tujuannya, agar pembelajaran di sekolah nyaman, tanpa ada bayang-bayang kekerasan dan perundungan.

Sudah enam tahun Aris berprofesi sebagai guru. Ia telah paham, siswa zaman sekarang agak sulit dibina. Bahkan, terlalu berani kepada gurunya. Maka, katanya, terkadang perlu pendekatan alternatif untuk meredam siswa yang bandel.

"Biasanya mereka bentuk geng, yang nakal-nakal ini. Semestinya memang guru laki-laki yang menghadapi dan mengajak bicara. Soalnya yang nakal ini biasanya anak laki," ucap Aris kepada Alinea.id, Senin (9/10).

Pengalaman guru

Sepengalamannya pula, ia mengakui, murid-murid zaman sekarang lebih berani melakukan perundungan. Aris menduga, penyebabnya karena media sosial serta orang tua yang abai terhadap pendidikan nilai dan norma di rumah.

"Secara adab kacau, sopan santun kurang. Guru juga sudah banyak yang enggak peduli soal masalah ini," ucap Aris yang mengajar di sebuah SD bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Menurut Aris, siswa yang tinggal di lingkungan yang keras, seperti pasar dan terminal, sangat rentan menjadi pelaku perundungan. Sebab, praktik perundungan merupakan hal yang lumrah di lingkungan yang keras. Celakanya, praktik negatif itu terkadang terbawa ke institusi pendidikan.

Ilustrasi sebuah sekolah di Jakarta./Foto Jess Yuwono/Unsplash.com

Sponsored

Aris sendiri pernah punya pengalaman dibentak oleh murid yang tak terima ditegur. Aris mengakui, tak jarang kelimpungan mengatasi perundungan yang terjadi sesama siswa. Apalagi sebagian guru juga mulai permisif, sehingga seolah dibiarkan.

“Bentuk yang sering terjadi bully verbal dan menghina fisik,” tuturnya.

Sementara itu, Unro yang mengajar di SMAN 6 Jakarta mengatakan, selama 23 tahun menjadi guru, ia baru merasakan terjadi perubahan sikap siswa yang sangat signifikan, seperti kurang menghargai guru dan sesama murid.

"Jujur saya prihatin dengan kondisi ini," ucap Unro, Senin (9/10).

Unro memandang, fenomena perundungan di sekolah, baik yang dilakukan antarsiswa maupun siswa dengan guru, punya keterkaitan erat dengan masalah sosial anak di lingkungan luar sekolah.

“Saya melihat, peran sentral keluarga menjadi penting, terutama ketika siswa melakukan perundungan kepada siswa lain,” ujarnya.

“Jadi, kalau bicara ini, kita harus melihatnya secara komprehensif. Apa yang kita kenal dengan tripusat pendidikan itu benar-benar harus sinergi, antara orang tua sebagai pondasi dalam menanamkan nilai dan karakter kepada anak juga harus menjadi perhatian serius.”

Unro berpendapat, mental anak yang menormalisasi perundungan berlangsung di luar sekolah. Sayangnya, hal itu dianggap bukan masalah bagi sebagian besar orang. Lantas, saat perundungan terjadi di sekolah, institusi pendidikan menjadi kambing hitam.

“Sekolah sebagai pengganti orang tua juga harus benar-benar serius melihat fenomena ini. Jangan sampai lalai dan kecolongan,” tuturnya.

Oleh karenanya, Unro berusaha memitigasi kerentanan perundungan di sekolah tempat ia mengajar, dengan pendekatan rohani dan budi pekerti saat masuk kelas dan jam-jam tertentu. “Sebenarnya yang harus diantisipasi itu bercanda yang bisa kebablasan. Semisal saling ledek antarteman,” ucap Unro.

“Ini guru harus mendeteksi sejak dini. Jangan sampai dari yang sepele ini menjadi besar.”

Senada dengan Aris, Unro juga berpendapat, selain pengaruh lingkungan di luar sekolah, perilaku perundungan juga diduga berasal dari pengaruh media sosial yang tak tersaring dengan baik.

"Pengaruh media sosial itu, saya melihat, dalam rangka eksistensi diri anak ditujukan kepada orang lain bahwa dia gagah berani. Jadi mereka ekspos ke media sosialnya," ucap Unro.

Ia melanjutkan, sekolah tempatnya mengajar sudah memandang masalah perundungan sebagai hal yang serius dan perlu dimitigasi oleh guru. Sekecil apa pun sikap siswa yang mengarah pada perundungan perlu diantisipasi segera agar tak menjadi masalah fatal.

“Ketika ada gejala yang mengarah ke sana (perundungan) tim kesiswaan dengan sigap memanggil dan mengumpulkan beberapa siswa yang kami anggap sebagai informal leader,” kata dia.

"Biar mereka menebar kebaikan kepada teman-temannya.”

Belakangan ini, dunia pendidikan diwarnai aksi perundungan dan kekerasan. Paling menyita perhatian adalah kasus seorang siswi yang dicolok matanya menggunakan tusuk bakso di sebuah SD di Menganti, Gresik, Jawa Timur. Peristiwa yang terjadi pada 7 Agustus 2023 lalu itu diduga dilakukan kakak kelas korban, yang berawal dari pemalakan.

Lalu, pada 26 September 2023 terjadi perundungan dan penganiayaan terhadap seorang siswa di sebuah SMP di Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dua pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Korban mengalami patah tulang rusuk.

Kekerasan pun menimpa seorang guru di Madrasah Aliyah (MA) di Demak, Jawa Tengah. Peristiwa itu terjadi pada 25 September 2023. Saat itu, seorang siswa membacok gurunya sebanyak tiga kali karena kecewa tak diizinkan ikut ujian tengah semester.

Penyebab dan cara mencegahnya

Siswa SDN 145 Inpres Pampangan melakukan senam kreasi saat mencanangkan program Sekolah Ramah Anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (5/2/2020)./Foto Antara/Abriawan Abhe.

Menurut anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini, perundungan dan kekerasan di sekolah terjadi karena beberapa faktor. Pertama, masalah kelembagaan dan regulasi.

“Banyak sekolah yang lamban merespons Permendikbud Ristek (Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) Nomor 46 Tahun 2023 (tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan),” ujar Diyah, Senin (9/10).

“Padahal ini masalah yang sudah terjadi lama.”

Kedua, konsep sekolah ramah anak tidak berjalan dengan semestinya. Bahkan, terkesan hanya administrasi dan tak banyak yang berhasil menjiwai konsep tersebut.

“Ketiga, kalau melihat regulasi pemerintah yang lain tentang pendidikan, ini juga bisa kita lihat apakah selama ini terkesan menekan siswa dan guru (dengan) memberikan beban yang luar biasa,” kata dia.

“Anak (jadi) kurang mengembangkan potensi, bakat, dan minatnya.”

Faktor lainnya yang tak kalah serius, menurut Diyah, guru kurang peduli dengan gejala perundungan yang muncul. Dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19, kata Diyah, menjadi faktor berikutnya. PJJ yang berfokus pada gawai, memicu anak mengonsumsi media sosial secara berlebihan. Kemungkinan besar, mereka meniru perilaku yang kurang baik dari media sosial.

“Faktor bullying bisa juga karena pola asuh yang buruk di rumah. Paling banyak di situ akar masalahnya," ucapnya.

Sementara itu, sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah mengatakan, maraknya fenomena perundungan di sekolah karena institusi pendidikan sejak lama melanggengkan ketimpangan strata sosial.

"Basis strata sosial itu bisa persoalan ekonomi, kekuasaan, atau popularitas," kata Tantan, Senin (9/10).

Hal itu dibuktikan dengan perundungan yang kerap kali menyasar siswa berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah atau mereka yang berasal dari kalangan minoritas dan kelompok rentan.

“Kita harus mengembalikan pendidikan itu basisnya kesetaraan, harmoni, dan penghargaan atas perbedaan-perbedaan,” ucapnya.

Ia berpendapat, institusi pendidikan masih banyak yang setengah hati menjunjung tinggi kesetaraan. Padahal, fungsi pendidikan adalah untuk menghapus kemiskinan dan ketimpangan.

Terpisah, pengamat pendidikan Susanto memandang, akar masalah yang memicu perundungan, antara lain faktor lingkungan sosial anak, kualitas pengasuhan, akses dan konten digital yang bermuatan kekerasan, dan pengaruh teman sebaya.

Untuk konten digital atau media sosial bermuatan kekerasan, ia menegaskan, semestinya pelajar sebisa mungkin dicegah mengonsumsinya. Karenanya, ia menyarankan agar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik, direvisi lantaran hanya membatasi usia.

Game berkonten kekerasan dan sadisme harus dipandang bukan materi permainan, tapi materi negatif yang tak boleh dilihat, apalagi dimainkan usia anak,” ujar Susanto, Senin (9/10).

Selain itu, perlu juga perbaikan sistem sekolah yang lebih berorientasi pada penghapusan perundungan lewat literasi dan pendampingan guru yang memahami masalah itu. “Deteksi dini oleh orang tua dan guru agar anak tidak menjadi korban dan pelaku bullying,” katanya.

Sedangkan Diyah memandang, perundungan perlu segera ditanggulangi dengan berbagai pendekatan edukasi di lingkungan rumah atau sekolah. KPAI, kata Diyah, juga bakal melakukan pengawasan terhadap sekolah yang masih abai terhadap perilaku perundungan.

“Salah satunya mendorong sekolah ramah anak. Kemudian, model-model lain, seperti sekolah sehat,” kata Diyah.

“Sekolah yang bagus itu bukan sekolah yang mentereng namanya saja, tapi sekolah yang betul-betul mengubah karakter dari seluruh warganya.”

KPAI pun akan merekomendasikan kepada pemerintah agar menerapkan sistem pendidikan yang tak memberatkan beban pembelajaran siswa dan guru. Namun, fokus pada karakter siswa yang lebih menghargai perbedaan.

Di sisi lain, Tantan berpendapat, untuk mencegah perundungan, sekolah mesti kembali fokus pada karakter moral yang mengedepankan empati dan penghargaan pada perbedaan. Bukan cuma nilai akademik.

Lagi pula, menurut Tantan, capaian siswa tak bisa diukur dari prestasi akademik semata. Sebab, terdapat kemampuan nonakademik yang juga perlu diberi penghargaan. Sayangnya, banyak guru yang justru mengecilkan kemampuan nonakademik, sehingga tak jarang memicu sikap diskriminasi dan perundungan kepada siswa yang tak unggul secara akademik.

“Kemampuan nonformal, seperti sikap baik dan empati yang menunjukkan hal-hal yang abstrak itu jarang dipakai dalam sistem penilaian,” ujarnya.

Seorang pelajar memberikan ucapan selamat dengan memeluk gurunya usai upacara peringatan hari guru nasional dan HUT PGRI di MTsN Model, Banda Aceh, Aceh, Senin (25/11/2019)./Foto Antara/Irwansyah Putra

Menanggapi kasus perundungan dan kekerasan, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Rusprita Putri Utami mengakui, masalah itu merupakan indikasi pendidikan karakter siswa yang merosot.

“Pada Pasal 18 Permendikbud Ristek 46/2023 dimandatkan, salah satu bentuk pencegahan melalui edukasi yang harus dilakukan oleh satuan pendidikan adalah melaksanakan penguatan karakter, melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan tanpa kekerasan,” kata Rusprita, Senin (9/10).

Menurut Rusprita, Permendikbud Ristek 46/2023 disusun untuk memberikan perlindungan hukum, yang tak hanya berfokus pada peserta didik, tetapi juga melindungi pendidik serta masyarakat yang beraktivitas atau bekerja di satuan pendidikan.

“Melalui Permendikbud Ristek 46/2023 ini, baik dari level satuan pendidikan dan pemerintah, secara kolaboratif diberikan mandat untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan,” tuturnya.

“Satuan pendidikan diberikan kewajiban membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota diberikan kewajiban membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan untuk memastikan adanya respons cepat penanganan kekerasan ketika terjadi di satuan pendidikan.”

Lebih lanjut, ia menuturkan, saat kasus perundungan semakin marak, Kemendikbud Ristek langsung mendorong pemerintah daerah menyusun kebijakan yang berorientasi membentuk lingkungan belajar yang aman, nyaman, inklusif, serta bebas dari kekerasan.

“Salah satu upaya yang selama ini sudah dilakukan, Kemendikbud Ristek melalui puspeka (pusat penguatan karakter) mengusung program pencegahan perundungan bernama ‘roots’,” katanya.

“Program ini berkolaborasi dengan UNICEF, menyasar satuan pendidikan tingkat SMP, SMA, dan SMK.”

Rusprita menyebut, sejak 2021 pihaknya sudah menjangkau 10.708 sekolah dan mencetak 20.101 guru serta 51.549 siswa agen perubahan untuk memperkuat mitigasi perundungan. "Kami mendorong adanya inisiatif sekolah dalam membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan," ujar Rusprita.

Ia pun mempersilakan orang tua siswa terlibat aktif mendesak sekolah membentuk TPPK dan mengawasi pelaksanaannya. Terlebih sekolah yang belum punya kesadaran menyikapi persoalan perundungan.

“Sehingga, ketika ada kasus kekerasan, kita bisa tanyakan tindak lanjutnya langsung di tingkat pelaksana, seperti sekolah dan pemda,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid